Gedar Pinang (1): Injak Usia Dua Abad, Saksi Bisu Residen Belanda Kolokan

gubernur ansar melantik sejumlah pejabat teras pemprov kepri/foto via gokepri.com

Gedar Pinang (1): Injak Usia Dua Abad, Saksi Bisu Residen Belanda Kolokan

Setelah dipermalukan armada laut Raja Haji Fisabilillah dalam pertempuran Malaka, Belanda mengamuk dan mengerahkan kekuatannya menumpas perlawanan serdadu Kesultanan Riau Lingga. Setelah menang, Belanda menjadikan Tanjungpinang tangsi militer dan menempatkan seorang residen memerintah dari Gedung Daerah. Kini menginjak usia dua abad!

SEMPENA perayaan 77 tahun Kemerdekaan RI, Dinas Kebudayaan Kepri merilis informasi pengingat genap 200 tahun berdiri Gedung Daerah (Gedar) Tanjungpinang, singkatnya Gedar Pinang, 1822-2022. Selama 25 windu, Gedar Pinang bukan hanya kenyang terjangan hujan panas iklim khatulistiwa Selat Malaka.

Tapi, untuk sebagian, juga menjadi saksi bisu cerita turun temurun kaburnya David Ruhde, Residen Belanda pertama di Riau, ke Malaka setelah serdadu Kesultanan Riau sukses menghancurkan benteng Tanjungpinang, pada 1787. Ruhde menginjakkan kaki di Tanjungpinang pada 1785 setelah Belanda memenangi perang 1782-1784 dengan syahidnya Raja Haji.

Setelah itu, Belanda dan Kesultanan Riau terlibat siklus "Tom and Jerry", saling mengalahkan satu sama lain, hingga puncaknya Treaty of London (1824). Tahun 1822, setelah Kesultanan Riau tersingkir ke Daik, menjadi Kesultanan Riau Lingga, Belanda membangun istana pemerintahan sepelemparan batu dari Pulau Penyengat.

Sejak itu, hingga lebih seratus tahun kemudian, Gedar akhirnya menjadi saksi hengkangnya Residen Belanda terakhir di Riau, Waardenburg, tahun 1950 setahun setelah Ratu Juliana mengakui kedaulatan NKRI, tahun 1949. Tahun 1957, Riau mekar dari Sumatera Tengah, menjadi provinsi sendiri dengan pusat Tanjungpinang sebelum pindah ke Pekanbaru, 1960.

Selama di pangkuan NKRI, Gedar Pinang menjadi tempat menginap petinggi negeri melawat ke Bumi Segantang Lada, seperti Adam Malik, Presiden Gus Dur hingga SBY. Tanjungpinang, secara khusus, juga menjadi saksi perlawanan Kepri ngotot ke NKRI ketimbang ke Singapura di masa lalu.

Insiden Bendera Penyengat

Kendati Traktat London melucuti kekuasaan Kesultanan Riau Lingga terbatas di Lingga, hingga akhirnya bubar di tahun 1912, serdadu Kesultanan terus menunjukkan taji perlawanan. Bahkan, ajang pesta pernikahan kerabat Kesultanan selalu menjadi ajang konsolidasi perlawanan ke Belanda.

Insiden bendera di Pulau Penyengat menjadi saksi perlawanan itu. Saking kesalnya dengan "perlawanan bendera" tadi, seperti ditulis Mohd Roslan Mohd Nor dan Ahmad Dahlan, peneliti dari University of Malaya, dalam Journal of Indonesian Islam (2018).

Disebut Residen AL van Hasselt mengadukannya ke Gubernur Jenderal Roseboom di Batavia. Intinya, Kesultanan menolak kewajiban mengibarkan bendera Belanda. Pemicu aksi kolokan tadi, diyakini, aksi Sultan Abdul Rahman tak mengibarkan bendera Belanda di Istana.

"Dia (Sultan Abdul Rahman) berlaku seolah raja merdeka dan mengibarkan bendera sendiri," tulis sang residen. Puncaknya, saat Residen WJ Rahder ke Penyengat menghadiri pesta perkawinan kerabat Sultan Abdul Rahman. Keluarga Sultan menyambut residen tanpa kibaran bendera Belanda.

(*)

UPDATE: Treaty of London (1824), Bukan 1828 Seperti Tertulis Sebelumnya

Bagikan