Soal Pertambangan Kepri, Gubernur Ansar Sentil Kebijakan Pusat!
angkaberita.id - Gubernur Ansar agaknya benar-benar memanfaatkan forum rakernas Asosiasi Pemprov Seluruh Indonesia (APPSI) di Bali, Selasa (10/5/2022) menjadi corong mencurahkan isi hati terpendam selama 15 bulan menakhodai Kepri. Ansar juga meluapkan kritiknya terhadap sejumlah kebijakan, termasuk menyentil soal pertambangan.
Khusus pemekaran, istilah lain daerah otonomi baru (DOB), bahkan Ansar mendorong revisi UU No. 32/2004. Ansar mengingatkan pemerintah pusat agar moratorium pembentukan DOB tak menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan. Posisi Kepri, kata Ansar, berhadapan langsung dengan Laut China Selatan rentan gangguan kedaulatan.
Apalagi Natuna, kaya dengan SDA berupa gas alam, sehingga rawan klaim negara asing. Bahkan, tegas Ansar, kemungkinan invasi jika tidak diantisipasi. Sudah saatnya, kata Ansar, kebijakan pemekaran juga mempertimbangkan potensi ancaman kedaulatan negara. "Saya kira Undang-undang Otonomi Daerah perlu direvisi," usul Ansar, seperti dilansir Kabarbatam.com, Rabu (11/5/2022).
Selain pertimbangan kedaulatan negara, Ansar juga menilai revisi diperlukan karena banyak kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah terkebiri. Dia juga curhat masih berkelindanya payung hukum pendelegasian kewenangan pusat ke daerah dalam sejumlah urusan.
Sehingga, menurut Ansar, tak mudah bagi kepala daerah menerjemahkan UU Otda jika dikaitkan dengan UU lain. "Maka kadang-kadang dengan Kepmen saja, dengan cantolan UU lain, terbentur dengan kewenangan-kewenangan kepala daerah. Makanya (UU Otda) saya kira perlu direvisi," tukas Ansar sembari meminta APPSI membentuk Tim Kecil merumuskan usulan revisi itu.
Bukan hanya kesulitan menerjemahkan pelaksanaan UU Otda di lapangan, Ansar juga menyentil kebijakan pemerintah pusat dalam sejumlah urusan terkesan sambil lalu, tanpa didasari kajian dan pertimbangan matang. Dengan blak-blakan, Ansar menyodorkan kebijakan pertambangan baru-baru ini.
Pusat akhirnya mengembalikan sebagian kewenangan ke daerah, setelah sempat mengambil alih dengan sejumlah pertimbangan. "Kadangkala kewenangan kita (kepala daerah) ditarik begitu saja oleh pemerintah pusat tanpa ada pembicaraan menyeluruh, tanpa ada referensi atau kajian sejenisnya," beber Ansar. Kondisi seperti itu, Ansar menegaskan, perlu diakhiri demi menghadirkan kepastian kebijakan.
Tersandera APBD
Soal ancaman kedaulatan di Natuna, untuk sebagian, Ansar realistis. Sebab, beberapa waktu terakhir, memang terungkap adanya sejumlah insiden di kawasan blok migas di lepas pantai Natuna. Laut China Selatan sendiri, seperti ditulis jurnal foreignpolicy , merupakan ladang konflik masa depan.
Sedangkan pemekaran, DPR baru menyetujui RUU provinsi anyar di Papua. Meskipun di Sumatera, juga tak sedikit usulan pemekaran, termasuk ikhtiar Provinsi Natuna-Anambas sejak beberapa waktu terakhir. Bahkan, khusus Batam, juga sempat terlontar hasrat pembentukkan provinsi khusus.
Pemekaran Natuna, Ansar tak menolak. Karena, dia meyakini ada kepentingan nasional di sana. Namun, untuk sebagian, dugaan Ansar curhat, termasuk menyentil kebijakan pertambangan pemerintah pusat semata urusan APBD. Selama pandemi COVID-19, sejak 2020, praktis banyak APBD daerah limbung, termasuk Kepri, terbukti dengan ngutang ke SMI, lengan investasi Kemenkeu RI.
APBD Kepri defisit, dan terpaksa memilah dan memilih program pembangunan prioritas, dengan tetap mengusulkan sejumlah proyek strategis ke pusat agar dibiayai APBN. Selama pandemi, APBD Kepri mengandalkan pajak kendaraan bermotor dan turunannya. Sebab, sumber PAD lain, termasuk dari pertambangan beralih ke pusat, atau sebagian lainnya kena moratorium.
Dari labuh jangkar, juga harus bergesekan dengan Kemenhub. Mengandalkan sektor konstruksi, dengan sendirinya pembiayaan APBN dan APBN, juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Ansar sendiri meyakni, seperti era sebelum 2018, tiga sektor penopang PDRB Kepri, dengan kata lain pertumbuhan ekonomi, ialah manufaktur, pertambangan dan konstruksi.
Dua terakhir, kondisinya tiarap selama pandemi. Praktis, APBD Kepri hanya mengandalkan dana transfer dan utang, karena tiada PAD nyata. Sementara belanja APBD, terutama belanja pegawai terus berjalan. Bahkan, lebih laju dibanding belanja modal dan belanja pembangunan.
Pada titik ini, wajar Ansar risau dan curhat ke pusat, terutama soal tambang. Karena, untuk sebagian, pertambangan non migas memang cara tercepat menambal APBD dari defisit. Istilah Ing Iskandarsyah, Analis Ekonomi Kepri di Tanjungpinang, "Keruk, Kapalkan, Uang".
Rudi Chua, anggota Komisi II DPRD Kepri tak menampik kondisi itu. Kata dia, dibanding sektor usaha perikanan, ROI sektor pertambangan terhitung lebih cepat. "Sektor maritim bisa hingga 10 tahunan," kata Rudi, terpisah. Apalagi, seperti dikoarkan Ketua DPRD Kepri, potensi tambang, semisal pasir laut, di Kepri bisa menyumbang PAD hingga triliunan.
Secara nasional, selama COVID-19, sektor tambang terjaga dari pandemi. Konon, pertumbuhan nasional, untuk sebagian, juga ditopang pertumbuhan sektor pertambangan, terutama di Sulawesi dan Papua. Selain pasir laut, Kepri juga bergeliat pertambangan pasir kuarsa.
Tak heran, jika pembesar Pemkab Lingga bela-belain curhat ke Komisi VII DPR membidangi energi agar mendorong pemerintah membuka keran pertambangan, bukan sekadar mengembalikan sebagian urusan ke daerah. Ujungnya, Dinas ESDM tak jadi tutup kantor.
Hanya saja, Kepri di mata pemerintah, terutama catatan Kementerian Investasi/BKPM, terhitung bermasalah. Banyak IUP mangkrak, dan terpaksa dicabut. Kendala lain, ternyata, di level kementerian juga terjadi gesekan soal PNBP. Pada titik itu, curhat Ansar agaknya tak berlebihan, meskipun Pemprov juga bukan pihak paling beres!
(*)