The Sanchaya Di Bintan Saksi Bisu Kembalinya Langit Kepri Ke Pangkuan NKRI

presiden jokowi dan pm lee hsien loong bersama ibu negara bercengkerama akrab merayakan 50 tahun hubungan bilateral indonesia dan singapura/foto via tempo.co

The Sanchaya Di Bintan Saksi Bisu Kembalinya Langit Kepri Ke Pangkuan NKRI

ruang udara (flight information radar)/via mediaindonesia.com

angkaberita.id- The Sanchaya bakal menjadi saksi bisu kembalinya langit Kepri ke pangkuan NKRI setelah 75 tahun berada di dekapan Singapura. Pertemuan Presiden Jokowi dan PM Lee Hsien Loong di ruang dahlia dalam resort bercitra rasa abad ke-18, itu juga bakal menambah “koleksi” kesuksesan diplomasi Tanah Air, persis seperti arti Sanchaya dalam bahasa Hindi.

Kali terakhir, Menlu Retno Mastuti Cs menorehkan sukses diplomasi serupa ketika Mochtar Kusumatmadja berhasil meyakinkan UNCLOS di tahun 1982, berujung konvensi hukum laut, NKRI merupakan negara kepulauan sekaligus mengakui Deklarasi Juanda di tahun 1957. Sejak saat itu, secara teori, teritorial di Tanah Air bertambah luas dan menempatkan Indonesia, secara geopolitis, berpengaruh di isu pelayaran dunia.

Bukti sahihnya, untuk sebagian, ialah kembali terpilihnya Indonesia dalam Dewan Maritim Dunia (IMO) periode 2021-2023. Dengan pencapaian itu, kini Presiden Jokowi bakal mewariskan ke penerusnya, pemenang Pilpres serentak pada 27 November 2024 kelak, dua kedaulatan. Yakni, kedaultan perairan melalui Deklarasi Juanda dan kedaulatan udara melalui The Sanchaya Meeting.

zona ekonomi eksklusif di tanah air mengacu konvensi hukum laut 1982 alias deklarasi juanda

Kembalinya ruang udara Kepri, khususnya Batam dan Natuna serta Tanjungpinang, ke Tanah Air juga menjadi bukti janji Jokowi setelah terpilih menjadi Presiden RI hasil Pilpres 2014. Sebab, sejak mencanangkan pengambilalihan FIR Kepri ke ibu pertiwi, secara maraton berunding dengan Singapura.

Hampir di setiap kesempatan, terutama sejak leaders retreat tahun 2016, Indonesia-Singapura selalu membahas isu pengeloaan ruang udara bagi penerbangan komersial (FIR) bersama sejumlah isu strategis lainnya. Kali ini, The Sanchaya Meeting, selain meresmikan kebijakan travel bubble Batam-Bintan, juga mengumumkan pengembalian FIR ke NKRI dari Singapura.

“Hal ini (pengembalian FIR) akan disampaikan Bapak Presiden (Joko Widodo) besok sesuai pertemuan dengan PM Singapura (Lee Hsien Loong),” jelas Teuku Faizasyah, Jubir Kemenlu RI, seperti dikutip CNN Indonesia, Selasa (25/1/2022).

ruang udara permintaan singapura bagi latihan militer mereka di kepri/via cnnindonesia.com

Isu lainnya, ialah masalah kerjasama pertahanan dan ekstradisi serta kerjasama investasi. Kembalinya FIR, untuk sebagian, diyakini Singapura telah merasa cukup dengan konsesi Tanah Air soal kerjasama pertahanan, terutama penggunaan ruang udara Natuna sebagai lokasi latihan militer Singapura. Tanpa itu, boleh jadi, skuadron tempur F-35 generasi kelima angkatan udara Singapura tak ada guna lantaran minim latihan militer (military drill).

Singapura merupakan negara pertama pengooleksi pesawat tempur generasi terbaru, F-35 pabrikan Lockheed Martin, Amerika Serikat. Jet tempur F-35 diyakini bakal menjadi keping penting bagi peperangan masa depan, sebagian analis militer memprediksi, bakal mengedepankan kekuatan udara lantaran meminimalisasi jatuh korban secara masif.

Pendeknya, patut diduga, kembalinya FIR setelah barter dengan izin ruang udara tadi. Jalan tengah itu, diyakini juga menyelamatkan kepentingan diplomasi kedua negara. Kerjasama investasi dapat menjadi substitusi dalam perundingan bilateral, semisal soal pasokan gas dan listrik. Dengan nihil SDA, ancaman krisis energi listrik bagi Singapura bukan isapan jempol. Terbukti, beberapa waktu lalu, Singapura jor-joran investasi listrik hijau ke Kepri.

Kembalinya langit Kepri, pada akhirnya, juga bukan kekalahan Singapura, namun juga keniscayaan Negeri Singa. Sebab, jika terjadi krisis kelak, Singapura juga telah mengetahui kemana harus melabuhkan harapan. Apalagi pendulum politik dunia juga berubah sangat dramatis. Kiblat Singapura agaknya juga harus mulai bergeser, seperti diyakini Kishore Mahbubani, demi keseimbangan strategis.

(*)

Bagikan