Terkungkung Tetangga, Singapura Setujui Ekstradisi Berlaku Surut 18 Tahun
angkaberita.id - Alunan kompang sambut kedatangan PM Lee Hsien Loong di Bintan, Selasa (25/1/2022) menandai KTT dengan Presiden Jokowi di The Sanchaya Resort. Selain kesepakatan ruang udara (FIR), keduanya juga meneken kerjasama ekstradisi dan pertahanan serta peningkatan investasi.
Seusai pertemuan, Presiden Jokowi memastikan Jakarta mengendalikan penuh "langit" Kepri bagi kepentingan penerangan komersial maupun militer setelah 75 tahun tarik ulur pengelolaan. Kembalinya pengeloaan FIR ke NKRI juga merealisasikan janji Presiden Jokowi di tahun 2015, setahun setelah memenangi Pilpres 2014.
The Sanchaya Meeting di Lagoi, juga buah perundingan maraton dengan Singapura lewat leaders retreat sejak 2016. "Dengan penandatangan perjanjian FIR, ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia. Terutama di perairan sekitar Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna," kata Jokowi, seperti dikutip detikcom, Selasa (25/1/2022).
Khusus perjanjian ekstradisi, Singapura juga menyetujui berlaku surut 18 tahun, terutama menyasar koruptor, bandar narkoba dan donatur terorisme. Konsekuensinya, buron telah berpindah kewarganegaraan juga tak bisa mengelak lagi. Langkah drastis Singapura, dengan tak lagi merelakan negaranya menjadi lokasi "mengungsi" buronan korupsi, bukan tanpa sebab.
Selain menjadi satu-satunya negara belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, istilahnya terkungkung dari tetangga, Singapura juga lekat dengan pamor negeri surga koruptor. PM Lee agaknya mulai tak nyaman dengan kondisi terkucil dari tetangga Asean-nya itu, meskipun boleh jadi mereka cukup nyaman dengan konsesi dari Jakarta soal barter dengan perjanjian pertahanan (DCA).
Apalagi, The Sanchaya Meeting juga meneken MoU pertahanan strategis kedua negara. Terlepas dari proses quid pro quo tadi, Menkum HAM Yasona Laoly menyebut sebagai babak baru perburuan koruptor, terutama kasus BLBI kabur ke Singapura. Per 25 Januari, Singapura tak lagi memberikan mereka "suaka", bahkan perjanjian ekstradisi berlaku surut hingga 18 tahun ke belakang.
"Selain masa rektroaktif, perjanjian ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan. Hal ini untuk mencegah privilese yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya," beber Yasonna.
(*)