COVID-19: Ada Risiko Peradangan Jantung Vaksinasi Pfizer-Moderna Pria Usia Muda?
angkaberita.id - Ada risiko langka peradangan jantung setelah vaksinasi memakai Pfizer dan Moderna di Amerika Serikat. Regulator obat-obatan Amerika Serikat (FDA), semacam BPOM di Tanah Air, menambahkan indikasi pada keterangan vaksin COVID-19 produksi keduanya.
Seperti dilansir Katadata mengutip laporan Antara, Sabtu (26/6/2021), FDA menyatakan setiap vaksin, lembar fakta untuk penyedia layanan kesehatan telah direvisi. Revisi dengan memasukkan peringatan laporan efek samping vaksin terkait menunjukkan peningkatan risiko miokarditis dan perikarditis.
Peningkatan risiko biasanya terjadi setelah pemberian suntikan vaksin dosis kedua, dan gejalanya muncul beberapa hari setelah vaksinasi Miokarditis merupakan kondisi terjadinya peradangan atau inflamasi pada otot jantung (miokardium). Otot itu berfungsi memompa darah ke seluruh organ tubuh.
Saat terjadi peradangan, fungsi jantung dalam memompa darah akan terganggu. Gejalanya seperti nyeri dada, gangguan irama jantung, dan sesak napas.
Sedangkan Perikarditis ialah ritasi pada lapisan tipis berbentuk kantong pelapis jantung (perikardium). Fungsinya menjaga agar jantung tidak berpindah posisi, serta melindungi jantung dari gesekan atau penyebaran infeksi dari jaringan lain.
FDA mencatat lebih dari 1.200 kasus miokarditis atau perikarditis telah dilaporkan ke Sistem Pelaporan Kejadian Membahayakan Vaksin (VAERS) AS pada 11 Juni 2021 setelah dilakukan sekitar 300 juta dosis vaksin mRNA di Negeri Paman Sam. Nah, kasus KIPI itu sebagaian besar terjadi pada laki-laki dalam sepekan setelah dosis kedua vaksinasi.
CDC mengidentifikasi 309 kasus pasien rawat inap (opname) akibat peradangan jantung berusia di bawah usia 30 tahun, 295 orang di antaranya telah dipulangkan. Regulator kesehatan di sejumlah negara telah menyelidiki kasus miokarditis dan perikarditis. Hasilnya, kasus ini lebih sering ditemukan pada warga usia muda, setelah suntikan vaksin Pfizer atau Moderna. Keduanya mengadopsi teknologi mRNA.
Metode Vaksin
Berdasarkan data GAVI, setidaknya terdapat tujuh metode pembuatan vaksin COVID-19 saat ini, yaitu RNA, DNA, protein subunit, virus hidup yang dilemahkan, virus yang tak aktif, vektor virus yang bereplikasi, dan vektor virus yang dihidupkan kembali. Menurut GAVI, metode terbaru menggunakan DNA dan RNA dapat menghasilkan kekebalan tanpa partikel virus.
Pusat Pengendalian Dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat mendefinisikan teknologi RNA sebagai upaya membuat protein tidak berbahaya untuk disuntikkan dalam tubuh manusia. Meski tidak berbahaya, tubuh tak mengenali protein itu sehingga meningkatkan sel darah putih berupa limfosit-T dan limfosit B.
Nah, sel darah putih itu mampu membentuk antibodi jika terinfeksi virus corona. Vaksin berbasis RNA juga lebih aman karena tidak diproduksi dengan menggunakan unsur dapat menginfeksi manusia. Selain itu, produksi vaksin RNA lebih cepat dan lebih murah daripada vaksin tradisional.
Sebagian besar penelitian terkini menggunakan metode RNA untuk membuat vaksin. Seperti Pfizer dan Moderna menggunakan messenger RNA sintetis. Messenger RNA membuat tubuh memproduksi protein dengan cara yang lebih terarah.
“Antibodi tidak hanya akan bekerja melawan sedikit lonjakan protein yang dibuat setelah vaksinasi, tetapi juga akan mengenali dan menghentikan virus corona yang masuk ke sel kita jika terpapar di masa depan,” kata Paula Cannon, tulis Katadata mengutip NBCNews.com, Selasa (17/11/2020).
Dengan metode itu, Pfizer mampu mengembangkan virus efektif mencegah COVID-19 hingga 95 persen dan Moderna 94,5 persen. Bahkan, perusahaan biofarmasi asal Jerman BionTech produsen vaksin Pfizer telah meriset pengobatan kanker dengan metode itu.
Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyatakan, teknologi mRNA merupakan teknologi tingkat tinggi dengannya seharusnya vaksin tetap efektif menangkal meski virusnya bermutasi.
Sebab, katanya, teknologi mRNA dapat membangkitkan imunitas bertahan lama. Selain mRNA, beberapa perusahaan farmasi menggunakan metode spike protein. Seperti AstraZeneca, dengan efikasi alias kemanjuran hingga 70 persen. Pandu menilai, efikasi sebesar itu sudah cukup menangkal COVID-19.
Sejumlah perusahaan biofarmasi lainnya mengadopsi metode virus tak aktif. Disebut sebagai metode paling tradisional pembuatan vaksin. Di sini partikel virus yang tidak memiliki kemampuan menghasilkan penyakit digunakan untuk merangsang kekebalan tubuh. Menurut Pandu, metode ini diadopsi Sinovac, perusahaan asal Tiongkok bekerjasama dengan Bio Farma.
"Metode paling primitif itu hanya mematikan virusnya saja, itu yang kita beli. Sinovac itu menggunakan cara yang paling primitif yaitu hanya membunuh virusnya saja," ujar Pandu. Metode lainnya ialah memakai vektor virus hidup dengan materi genetik COVID-19, lalu disuntikkan dalam tubuh agar terbentuk protein unik melawan COVID-19.
Cara kerjanya, vaksin akan membuat salinan dari protein tadi dan mendorong produksi limfosit-T dan limfosit B melawan virus corona jika terinfeksi di masa mendatang.
Teknik vektor virus itu mengangkut informasi genetik ke dalam virus yang tidak terlalu berbahaya, sering kali adenovirus penyebab flu biasa, yang terkadang direkayasa sehingga tidak dapat bereplikasi dalam inang. Sputnik V mengadopsi metode itu.
Perusahaan asal Rusia itu mengembangkan vaksin dengan dua vektor berbeda berdasarkan adenovirus manusia. Sehingga memungkinkan respons imun lebih kuat dalam jangka panjang dibandingkan vaksin dengan satu vektor dalam dosis sama. Efikasinya diklaim hingga 95 persen berdasrkan data awal dari pengamatan relawan setelah suntikan kedua kurun 21 hari.
Lalu bagaimana dengan Kepri? Di sini, vaksinasi memakai vaksin Sinovac dan AstraZeneca. Kemenkes tengah mempertimbangkan pemakaian vaksin Pfizer saat menggelar vaksinasi anak usia di bawah 18 tahun.
(*)