COVID-19: Bukan Hanya Pulsa, Biang Keluhan Sekolah Daring Ialah Guru. Benarkah?
angkaberita.id – Selesaikah persoalah sekolah daring di masa pandemi COVID-19 dengan mengucurnya bantuan pulsa senilai Rp 7,2 triliun ke guru dan peserta didik? Untuk sebagian selesai, namun untuk sebagian lain justru tidak menyelesaikan masalah.
Karena, bagi sebagian pengamat pendidikan, selain persoalan akses internet, persoalan pembelajaran jarak jauh alias sekolah daring ialah minimnya interaksi kegiatan belajar mengajar (KBM) guru dan peserta didik selama pandemi COVID-19. Jika terus berlanjut kondisi itu, peserta didik bakal paling terdampak.
Sebab, bantuan pulsa hanya membantu meringankan beban pengeluaran orang tua peserta didik selama sekolah daring di pandemi COVID-19, tidak dengan kualitas hasil KBM seperti hak peserta didik.
Seperti hak mendapatkan pengetahuan dasar (basic knowledge) pengajaran sesuai kurikulum lantaran kendala tiadanya perkelasan, dan fakta adanya tenaga pengajar sekadar ‘menggugurkan kewajiban’.
Selama pandemi, berdasarkan data Kemendikbud per 13 April 2020, sebanyak 68.729.037 peserta didik harus belajar dari rumah. Pelajar jenjang SD dan sederajat paling banyak, yakni 28.587.688 orang. Jenjang SMP dan sederajat terbanyak kedua, yakni 13.086.424 pelajar.
Namun demikian, seperti laporan Katadata, akses internet memang menjadi persoalan pokok. “Karena masih ada 69 juta siswa kesulitan mengakses internet yang terbatas,” kata Doni Koesoema, Pakar Pendidikan UMN. Sebagian di antaranya bukan semata akses internet, namun juga akses listrik.
Data Kemendikbud mengonfirmasinya, sebanyak 33.227 satuan pendidikan atau sekolah mempunyai listrik, tapi tidak tersentuh internet. Kemudian 7.552 satuan pendidikan tak berlistrik dan internet sekaligus. Pemerintah, saran Doni, harus membuka akses internet di wilayah terkait. Jika tidak, sekolah daring hanya menambah kesenjangan.
“Jadi kalau tidak ada program lain, ya, ada banyak siswa di Indonesia yang terdiskriminasi kebijakan pendidikan pemerintah,” tegas Doni. Kesenjangan bakal bertambah jika tenaga pengajar juga mengajar sekadar menggugurkan kewajiban saja. Seperti mengajr tak sekadarnya, atau tak menyesuaikan pengajaran dengan kurikulum dan level belajar peserta didik.
Konsekuensinya, “Ada jutaan siswa Indonesia yang terancam tidak punya basic knowledge atau pendasaran ilmu yang baik dan ini membahayakan untuk perkembangan berikutnya,” tegas Doni. Kritikannya bukan isapan jempol. Riset peneliti Yusof Ishak Institute selama pandemi di tanah air, mengonfirmasi temuan itu.
Hanya separuh guru mau menyesuaikan kurikulum dengan level belajar peserta didik. Selebihnya, hanya mengikuti tuntutan kurikulum saja, tanpa memberikan atau melihat level belajar peserta didik. Dalam riset berjudul Teaching and Learning During School Closure: Lesson From Indonesia, terungkap 60-70 persen guru berinteraksi langsung dengan peserta didik atau melalui orang tua murid.
Kemudian 10 persen guru hanya membebankan tugas kepada peserta didik tanpa ada pendampingan atau interaksi. Lalu, terungkap adanya guru mengalihkan pembelajaran lewat media lain, seperti menonton siaran edukasi di TVRI. Studi RISE Indonesia pada Juni 2020 juga mengungkapkan kurangnya kompetensi guru.
Setidaknya tiga faktor menjadi biang kerok di baliknya. Yakni, pertama rekrutmen guru acap kali menjadi cara bagi seseorang untuk meningkatkan status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga tidak memprioritaskan kemampuan mengajar.
Kedua, dominasi faktor kepentingan yang melebihi tujuan utama dalam lingkungan ekonomi-politik guru. Dengan kata lain, penuntasan kurikulum kerap terjadi tanpa ada evaluasi capaian siswa.
Ketiga, persepsi soal senioritas di lingkungan guru. Bahwa, semakin tua usia guru, dianggap semakin senior. Imbasnya penilaian kualitas guru kerap dikesampingkan. “Kementerian harus memberikan dorongan kepada guru agar mengajar sesuai kompetensi yang utama dan memberi feedback sehingga ada interaksi siswa dan guru,” kata Doni.
(*)