COVID-19: Mirip Kondisi Indonesia, Dokter Korea Selatan Mogok Kerja Saat Pandemi
angkaberita.id – Mengantisipasi lonjakan kasus COVID-19, Korea Selatan merombak habis sistem kesehatan publik mereka, termasuk membuka akses seluas-luasnya bagi sekolah kedokteran akibat menumpuknya tenaga dokter di perkotaan besar.
Namun kebijakan itu langsung dijawab dengan mogok kerja puluhan ribu dokter di Negeri Gingseng itu. Mereka memprotes rencana reformasi tenaga medis itu, bahkan menentang perintah kembali kerja, Rabu (26/8/2020). Mogok selama tiga hari dilancarkan Asosiasi Medis Korea (Korean Medical Association/KMA).
Organisasi profesi itu memiliki anggota 130.000, termasuk dokter magang dan dokter residen di rumah sakit dan klinik komunitas. Pemogokan massal setelah sebelumnya mereka selama berminggu-minggu mogok kerja secara sporadis di saat pandemi menghajar Korea Selatan.
Petugas medis menentang rencana pemerintah meningkatkan jumlah mahasiswa kedokteran selama beberapa tahun ke depan, termasuk dengan mendirikan sekolah kedokteran umum serta memperluas cakupan layanan dokter jarak jauh (telemedicine).
Mereka berdalih, alokasi anggaran itu sebaiknya dipakai meningkatkan gaji dan perbaikan kesejahteraan agar tenaga medis mau bekerja di luar Seoul, atau kota besar lainnya. Seperti dilansir CNBC Indonesia mengutip laporan Yonhap, kantor berita Korea Selatan, pemogokan memaksa lima rumah sakit utama di Korea Selatan membatasi jam kerja dan menunda jadwal operasi pasien.
Sejumlah klinik komunitas juga mulai tutup prakti. Sebanyak 33 persen klinik tutup selama pemogokan pertama awal bulan Agustus lalu. Perawakilan dokter dan pemerintah sepakat menangani pasien COVID-19, namun gagal berkompromi soal rencana reformasi sistem kesehatan publik.
“Pemerintah sekarang tidak punya pilihan, selain mengambil tindakan hukum yang diperlukan seperti perintah untuk membuka bisnis agar tidak membahayakan nyawa dan keselamatan warga,” kata Menkes, Park Neung-hoo, seperti dilansir Aljazeera.
“Kami mendesak semua trainee (dokter magang) dan sesama dokter untuk segera kembali bekerja,” tegas Menkes. Mereka menolak, Menkes menegaskan bakal menjatuhkan sanksi, termasuk hukuman penjaran maskimal tiga tahun, atau denda 30 juta Won setara Rp 270 juta dengan kurs Rp 12,35 per Won.
Menkes mengatakan, jika KMA dan KIRA atau organisasi dokter magang menolak kebijakan pemerintah, Menkes tidak segan menghukum mereka, sanksi awal mencabut surat izin dokternya. “Kami dengan tulus ingin kembali,” kata KMA dalam pernyataannya, namun tetap bernegosisasi dengan pemerintah terkait reformasi sistem kesehatan publik.
“Kami meminta Anda, warga, untuk mendengarkan suara kami sehingga kami dapat bertemu pasien kami secepat mungkin.” Pemerintah Korea Selatan mengatakan, reformasi kedokteran terpaksa dilakukan, termasuk meningkatkan mahasiswa kedokteran sebanyak 4.000 orang selama 10 tahun ke depan.
Sehingga ke depan, jika terjadi krisis kesehatan, kapasitas medis lebih siap. Namun kalangan dokter tak sepakat. Kebijakan itu, klaim mereka, justru akan membanjiri pasar yang sudah sengit persaingannya. Dana keperluan itu, menurut mereka, sebaiknya dipakau meningkatkan gaji dokter dan pelatihan sehingga dokter tak menumpuk di Seoul atau kota besar saja, namun ke daerah-daerah.
Kondisi serupa sejatinya juga terjadi di tanah air, termasuk Kepri. Berdasarkan data, jumlah dokter sebagian besar juga menumpuk di Batam. Sejumlah Pemda bahkan terpaksa terus membuka lowongan penerimaan dokter PNS lantaran banyak dokter PTT tak melanjutkan kedinasan setelah habis masa penugasan di daerah.
(*)