COVID-19 Di Kepri: Cara Membaca Klaster Pandemi Corona, Kenapa Penting?
angkaberita.id – Dibanding Jawa Timur, jumlah klaster penyebaran virus corona di Kepri terbilang rendah. Begitu juga dengan akumulasi jumlah kasus positif. Namun bukan berarti pekerjaan di Kepri lebih ringan. Sebaliknya, lebih berat karena harus berjuang agar jumlah klaster tak bertambah.
Meskipun jumlah klaster sedikit juga tak selalu berarti jumlah kasus COVID-19 juga sedikit. Sebaliknya, berkaca dari Jawa Timur, klaster sedikit namun jumlah kasus banyak artinya penulara virus corona di daerah itu justru tinggi.
“Artinya di sebuah kelompok masyarakat, sekelompok orang di suatu area lokal sama, ada positif tidak ada riwayat bepergian. Seseorang dengan positif (jadi) akhirnya tertular, ini kita waspadai,” ujar Dewi Nur Aisyah, Tim Pakar Gugus COVID-19 Pusat. Karena itu, menurutnya, penting isolasi mandiri.
Di Jawa Timur, seperti dilansir Liputan6, per 7 Juli ditemukan kasus 2.004 dari 141 klaster. Hingga Selasa (14/7/2020) tercatat sebanyak 17.212 kasus positif. Dari 141 klaster, terbanyak akibat penularan lokal, dengan jumlah 34 klaster dan kasus sebanyak 686. Klasternya juga bermacam-macam.
“Kontak tracing kita tahu ketemu dengan orang siapa saja, ditemui bertemu yang positif wajib isolasi mandiri meski tidak ada gejala,” tutur Dewi. Dia menambahkan, cara membaca klaster juga menentukan skenario mitigasi penularan virus. Tingkat risiko penularan juga dapat diketahui dari klaster dan jumlah kasusnya.
Sebagai gambaran, klaster pasar di Jawa Timur tercatat 31 dengan 199 kasus. Sedangkan klaster di tempat kerja sebanyak 20, dengan jumlah kasus 272. Apa itu artinya? “Kalau jumlah kasus lebih banyak tetapi klaster sedikit artinya penularan di tempat itu lebih tinggi,” jelas Dewi.
Bagaimana dengan Kepri, terutama Batam? Berstatus daerah berisiko sedang, Batam masih berjibaku dengan kerja-kerja menekan lahirnya klaster baru melalui tracing dan karantina mandiri terhadap sesiapapun masuk ODP dan OTG. Apalagi, Batam terbilang banyak klaster dan jumlah kasus positifnya.
Hingga 15 Juli, tercatat sebanyak 341 kasus, sebanyak 265 di antaranya berada di Batam. Sebanyak 28 di antaranya kasus aktif meskipun kondisinya secara klinis seluruhnya stabil. Selain pasien aktif, pekerjaan rumah di Batam tentu saja memastikan contact tracing kasus positif dari klaster ada, terutama berstatus ODP dan OTG, tak melahirkan klaster baru.
Selain lebih berisiko melahirkan klaster baru, dengan jumlah klaster terbanyak di Kepri, termasuk contact tracing berstatus ODP dan OTG, kesempatan Batam naik kelas menjadi daerah berisiko rendah (zona kuning) meniscaya jika pasien aktif segera banyak tersembuhnya dan tak terjadi klaster baru, meskipun tak menutup terjadi kasus baru.
Data Dinkes Kepri, hingga 15 Juli, tercatat Batam konsentrasi klaster COVID-19 terbanyak, 13 dari 20 klaster di empat daerah terjangkit. Dari 13 klaster itu, klaster HOG Eden Park terbanyak kasusnya, yakni 49 orang. Kemudian India Batam dan klaster Dinas Pemberdayaan Perempuan.
Dengan kondisi itu, dibanding enam kabupaten dan kota lainnya, Batam terbilang lama bercokol di zona oranye, meskipun daerah tetangga seperti Tanjungpinang, silih berganti naik dan turun kelas seiring hasil peta risiko hasil analisis Gugus Tugas COVID-19 Pusat, secara mingguan.
Per 12 Juli kemarin, setelah turun kelas Tanjungpinang kembali naik kelas menjadi zona kuning, meninggalkan Batam di zona oranye. Tanjungpinang kembali bergabung dengan Bintan dan Karimun di daerah berisiko rendah, meskipun mencatat terjadi kasus baru berujung penutupan sementara Masjid Agung Al Hikmah, sekaligus penambahan satu pasien sembuh.
Seperti dilansir detikcom, sebanyak 31 daerah masih tercatat berstatus zona merah, dan 102 lainnya daerah berisiko rendah dan atau tak terdampak. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas COVID-19 Pusat, Wiku Adisasmito, analisis berdasarkan risiko penularan.
“Bahwa perkembangan untuk daerah kabupaten kota dengan risiko tinggi berubah-ubah mulai dari 21 persen, turun menjadi 12 persen, 9 persen dan pada tanggal 12 Juli menjadi 6 persen,” kata Wiku. (*)