COVID-19 Di Kepri (3-Habis): Struktur Demografi Di Balik Kesembuhan Pasien?
angkaberita.id– Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah COVID-19 bakal selamanya berjangkit di dunia hingga ditemukan vaksin penangkalnya.
Perkiraan tercepat baru tahun depan tersedia vaksinnya, meskipun berdasarkan pengalaman sejarah pengembangan vaksin-vaksin sebelumnya bisa hingga belasan tahun lamanya.
Pernyataan WHO terlontar bersamaan dengan rencana sejumlah negara, terutama di Amerika dan Eropa melonggarkan kebijakan lockdown ataupun pembatasan aktivitas sosial lainnya. Di tanah air, Presiden Jokowi bahkan menyatakan sudah saatnya publik “berdamai” dengan pandemi.
Sehingga, secara perlahan, pemerintah mulai melonggarkan sejumlah kebijakan penanganan pandemi COVID-19. Bahkan, terakhir pemerintah mempertimbangkan kembali normalisasi 11 jenis usaha, dengan ketentuan khusus pekerja berusia 45 tahun ke bawah.
Kebijakan pragmatis sejumlah negara itu bukannya tanpa perlawanan. Di Jerman, publik di sana terbelah dalam dua kubu, berikut dengan parpol pendukungnya. Begitu juga dengan Amerika Serikat.
Terus melejitnya jumlah pengangguran akhirnya membuat sejumlah negara di sekujur dunia mulai mengangkat bendera putih seiring babak belurnya perekonomian mereka akibat hantaman pandemi COVID-19.
Apalagi ekses jebloknya perekonomian juga tak kalah pelik dengan pandemi COVID-19, termasuk kasus kematian akibat depresi, bunuh diri dan sebagainya.
Data terbaru malah, penyakit jantung masih menjadi momok menakutkan di dunia. Kasus kematian akibat serangan jantung justru tertinggi, bahkan dibanding COVID-19 di dunia, per harinya.
Banyak kalangan akhirnya menyepakati, pandemi COVID-19 telah melahirkan “kenormalan baru” dan karenanya setiap negara harus beradaptasi dengan kondisi itu.
Namun memang, dibanding negara maju di belahan dunia utara seperti Eropa dan Amerika, negara dunia belahan selatan terbilang rendah kasus infeksi dan CFR-nya, termasik benua Afrika.
Kendati diragukan kalangan ilmuwan barat, namun faktanya negara di belahan dunia selatan kasus COVID-19 tak sebanyak negara maju dan makmur. Kendati belum ada penelitian resmi terkait, namun di mata Esther Duflo dan Abhisit Banerjee, pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2019, faktor struktur demografi disebut tak bisa dikesampingkan.
Dalam opininya di The Guardian, pasangan suami istri itu menulis fakta Afrika penduduknya tergolong berusia muda memungkinkan mereka menghadapi pandemi COVID-19 secara berbeda dibanding negara maju, termasuk Italia yang dikenal banjir penduduk usia lanjut bahkan di atas 100 tahun.
Faktor demografi hanyalah satu dari sekian teori pengurai akar pembeda dampak COVID-19 di dunia utara dan dunia selatan, negara maju dengan negara berkembang. Teorinya sederhana, infeksi virus corona memang tak mengenal usia. Namun risiko tertinggi hingga berujung kematian berdasarkan kajian di sejumlah negara terdampak, berada di usia Lansia.
Lalu bagaimana dengan Kepri? Selain penanganan medis, faktor demografi juga tak bisa diabaikan. Setidaknya jika merujuk kasus infeksi dan kematian akibat COVID-19. Hingga 17 Mei 2020, tercatat sebanyak 11 kasus kematian akibat COVID-19. Sebagian besar pasien berusia Lansia.
Sedangkan kasus infeksi, berdasarkan status Pasien Dalam Perawatan (PDP) dengan Batam sebagai patokan, selain kasus terbanyak juga penduduk terpadat di Kepri sehingga cocok dengan karakteristik COVID-19 sebagai wabah perkotaan, terungkap secara akumulatif hingga 17 Mei 2020 pukul 14.00 WIB, sebagian besar pasien berusia produktif.
Dari 331 PDP, sebagian besar di rentang usia 17-55 tahun sebanyak 193 orang atau 58,30 persen. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar kaum laki-laki sebanyak 195 orang atau 58,91 persen. Rentang usia itu paralel dengan struktur demografi penduduk di Kepri.
Berdasarkan data BPS Kepri, penduduk Kepri sebanyak 2.189.653 jiwa, tersebar di 7 kabupaten dan kota, dengan penduduk usia produktif 15-59 tahun mendominasi struktur demografi sebanyak 1.440.961 jiwa setara 65,80 persen.
Kondisi itu, jika piramida penduduk Kepri berdasarkan kelompok usia dibagi dalam tiga golongan besar, yakni usia 0-14 tahun, 15-59 tahun dan 60 tahun ke atas. Nah, data itu mengonfirmasi secara demografi Kepri tergolong penduduk usia muda.
Karena berdasarkan laporan bertajuk Struktur Lansia Provinsi Kepri 2018, definisi Lansia ialah penduduk berusia 60 tahun ke atas. Kemudian berdasarkan jenis kelamin, kelamin, sebanyak 1.115.765 laki-laki dan 1.073.888 perempuan seperti tertuang dalam laporan bertajuk Kepri Dalam Angka 2020.
Sebagai gambaran, mengutip laporan Statista berdasarkan laporan hasil evaluasi kasus COVID-19 di Wuhan, China, terungkap pria dan Lansia paling rentan terinfeksi COVID-19, sebagian di antaranya karena memang persentasenya lebih besar dibanding perempuan. Sebaliknya, berdasarkan sejumlah kajian ilmiah, kaum perempuan terbilang lebih resisten berkat sistem hormonal biologis.
Nah, kondisi di Kepri, jika merujuk pada temuan di Wuhan, memang terbilang rentan bertambah kasus infeksinya lantaran penduduk laki-laki mendominasi, meskipun jumlahnya tipis. Namun risiko kematian akibat COVID-19, karena penduduknya terbilang berusia muda, bisa disebut tidak setinggi di New York atau kawasan perkotaan padat penduduk lainnya.
Begitukah? “Belum bisa disimpulkan (seperti itu). Karena sampelnya masih sedikit,” kata Didi Kusmarjadi, Kepala Dinkes Batam ketika dikonfirmasi kemungkinan faktor demografi berada di balik melesatnya angka kesembuhan di Kepri, bahkan sempat tertinggi di tanah air.
Berkat Obat Malaria?
Data terakhir, jumlah pasien sembuh di Kepri sebanyak sebanyak 82 orang, termasuk 29 pasien di RS Galang di Batam. Secara akumulatif hingga 17 Mei 2020, kasus positif COVID-19 di Kepri sebanyak 116, termasuk 29 kasus di RS Galang di Batam.
Kesembuhan terbanyak di Batam, yakni 29 orang dengan jumlah kasus positif sebanyak 54 orang. Tanjungpinang menyusul dengan 19 pasien sembuh dari 26 kasus positif. Karimun 5 kasus positif, 4 di antaranya sembuh dan Bintan sebanyak 2 kasus positif, seorang di antaranya sembuh dan seorang lagi meninggal dunia.
Praktis selama dua pekan terakhir terus bertambah pasien COVID-19 sembuah, dan tidak terjadi penambahan kasus kematian sejak 9 Mei 2020 alias hampir dua pekan terakhir. Tak heran, Kepri sempat menjadi provinsi tertinggi tingkat kesembuhan di tanah air.
Sebagai gambaran, hingga 10 Mei saja berdasarkan data Dinkes Kepri, tercatat sebanyak 45 dari 72 pasien COVID-19 di empat daerah terjangkit dinyatakan sembuh. Itu di luar pasien klaster RS Galang di Batam.
Sedangkan 27 pasien lainnya menjalani perawatan, termasuk perawatan karantina mandiri di rumah. Dari 45 pasien sembuh, sebagian besar pasien di Batam sebanyak 24 orang. Tanjungpinang menyusul sebanyak 18 pasien. Baru selanjutnya Karimun dan Bintan, masing-masing 3 dan 1 pasien.
Berdasarkan jenis kelamin, pasien laki-laki paling banyak sembuh, yakni 25 orang, dengan rentang usia sebagian besar di umur 41-60 tahun, sebanyak 14 orang. Sedangkan keseluruhan, berdasarkan kelompok usia, pasien usia 41-60 juga tertinggi tingkat kesembuhan. Dari 45 pasien, terdapat 24 pasien sembuh.
Namun, kasus COVID-19 bersifat dinamis, angka kesembuhan bakal terus berubah seiring perkembangan terbaru kasus infeksi di Kepri. Jika angka infeksi dapat ditekan, dengan sendirinya angka kesembuhan juga dapat dimaksimalkan. Karena, untuk sebagian, kunci rendahnya CFR ialah tidak jebolnya kapasitas sistem kesehatan publik.
Di Kepri, selain empat rumah sakit rujukan, Pemprov juga menyiapkan setidaknya 30 fasilitas kesehatan di sekujur provinsi, sebagian besar terkonsentrasi di Batam. Itu belum termasuk RS Khusus Galang di Batam dengan kapasitas hingga 1.000 pasien. Begitu juga dengan tenaga dokter dan perawat, sebagian besar terkonsentrasi di Batam.
Berdasarkan data tahun 2017, rasio dokter per 100 ribu penduduk di Kepri masuk 12 besar secara nasional, dengan rasio 47,8 persen. Sedangkan rasio tempat tidur di rumah sakit per 1000 penduduk di Kepri per Maret 2019, masuk 10 besar tertinggi di tanah air, dengan rasio 1,44 tempat tidur per penduduk.
Lalu bagaimana dengan pengobatan selama perawatan? Situs berita Der Spiegel di Jerman menulis berbagai pengobatan ditempuh, namun tingkat kemanjurannya berbeda-beda. Selain obat-obatan anti virus Ebola pabrikan Gilead di Amerika Serikat, belakangan batal direkomendasikan, juga terdapat obat perawatan pasien HIV/AIDS serta penyakit malaria, yakni Chloroquine.
Terkait pengobatan, Kepala Dinkes Batam Didi Kusmarjadi tak menampik pemakaian obat malaria sebagai bagian dari pengobatan, yakni hydrocloroqin. “Ya (obat malaria),” jawabnya belum lama ini melalui pesan WA. Obat itu disebut manjur menangkal serangan virus SARS.
Selain obat antimalaria, dokter di Batam juga menggunakan sejumlah obat anti virus lainnya, termasuk penambahan asupan vitamin C dan vitamin E. Resep pengobatan serupa juga terdeteksi di rumah sakit rujukan di Tanjungpinang.
Menurut Plt Direktur RSUD Raja Ahmad Thabib, Elviani Sandri, obat-obatan itu mengikuti standar Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) sesuai acuan WHO. Belum diketahui, apakah biang melesatnya kesembuhan pasien COVID-19 di Kepri berkat obat-obatan anti malaria atau bagusnya sistem kekebalan tubuh pasien berkat usia muda.
Tapi, satu hal pasti infeksi virus, selain vaksin faktor utama penangkal serangan ialah kondisi sistem kekebalan tubuh pasien bersangkutan. Selebihnya, terus bertambahnya pasien sembuh itu diharapkan menjadi kabar gembira bagi warga sekaligus menjadi penyemangat Pemda segera menyalurkan sembako ke warga terdampak seiring mendekatnya hari Lebaran Idul Fitri 1441 H.
*)
UPDATE: Pengayaan data pasien COVID-19 sembuh di Kepri berdasarkan data Dinkes Kepri hingga 10 Mei, bukan 12 Mei seperti dalam penjelasan dan keterangan visualisasi psikografis pasien sembuh terkait sebelumnya.