COVID-19 Di Singapura: Sibuk Pelototi Pekerja Dormitori, Tutup Mata Soal Gaji Rendah
angkaberita.id – Mendapat pujian internasional lantaran dinilai efektif menangani kasus COVID-19 di awal pandemi, kini pemerintah Singapura justru sibuk menangkis kritikan bertubi-tubi seiring melesatnya kasus infeksi.
Hingga Selasa (6/5/2020) tercatat sebanyak 20.198 kasus infeksi corona, naik 2.000 kasus dibanding dua hari sebelumnya sekaligus kasus tertinggi di Asia Tenggara sejauh ini, meninggalkan jauh 9 negara lainnya di kawasan.
Data pemerintah Singapura, saat kasus tembus di angka 18.000 sebanyak 87 persen dari 18.778 kasus berasal dari pekerja migran di dormitori. Pemerintahan Lee Hsien Loong melalui kementerian kesehatan dan kementerian tenaga kerja berusaha membela diri.
Keduanya berkilah telah bertindak cepat begitu melonjak kasus COVID-19 di lingkungan dormitori. Namun Menteri Tenaga Kerja Josephine Teo tak bisa menjawab kaitan kondisi buruk di dormitori sebagai biang di balik melonjaknya kasus COVID-19 di pekerja migran.
Teo berkelit, menurutnya pekerja di dormitori lebih peduli soal kapan gaji dibayar. “Dan, bagaimana mengurus pekerja sakit,” ujarnya berdalih. Tak tersentuh sama sekali kritikan kasus infeksi dengan kondisi sanitasi di dormitori.
Terkait kritikan serupa, Kementerian Kesehatan Singapura menjawabnya, begitu kasus COVID-19 meledak, pihaknya langsung mendirikan pos pemeriksaan kesehatan di lokasi. Padahal, kondisi kesehatan lingkungan termasuk sanitasi di dormitori tidak sehat.
Selain satu kamar bisa ditempati 12-20 pekerja, kemudian fasilitas MCK terbatas sehingga harus berbagi saat urusan mandi. Sejumlah pekerja di dormitori juga sempat mengeluhkan ketiadaan sabun sekadar buat cuci tangan.
Praktis, sebagian pekerja mengaku seperti tinggal di penjara, selain fasilitas sanitasi terbatas, mereka juga sulit menerapkan kebijakan jarak fisik. Hasil itu diperkuat dengan pengakuan sejumlah pekerja kepada guru besar universitas di Selandia Baru saat meriset mereka.
Fakta terkaburkan itu memantik kritikan ke pemerintah. Pemerintahan Lee Hisen dituding terkesan lebih peduli rendahnya kasus infeksi, tapi tutup mata dengan buruknya penggajian pekerja migran di Singapura. Kebiasaan melempar kesalahan di pihak lain juga terekam sejak kasus COVID-19 merebak di Singapura.
Di awal kasus, warga Singapura menuding pendatang China daratan sebagai biang wabah. Saat kasus bertambah, setelah memanen pujian internasional, mereka berdalih bukan kasus lokal namun impor.
Belakangan terungkap, bukan hanya kasus penularan lokal namun tak sedikit kasus infeksi justru tak terlacak klasternya. Berdasarkan data, hingga Selasa (6/5/2020), penularan infeksi berdasarkan sumber paling banyak klaster tak terlacak, yakni 67,4 persen. Kasus impor 2,8 persen dan penularan lokal 29,8 persen.
Dengan kata lain, biang kerok melejitnya kasus COVID-19 di Singapura sejatinya bukan pekerja migran semata, namun justru orang tanpa gejala (OTG). Karena mereka bergentayangan tanpa terdeteksi dan berstatus carrier alias membawa virus. (*)