Kenapa Resesi ‘Urusan Bawah Perut’ Lebih Mengancam Dibanding Resesi Ekonomi?
angkaberita.id – Sudah menjadi rahasia umum sejumlah negara maju seperti Jepang dipusingkan dengan menuanya populasi penduduknya. Sehingga keseimbangan demografinya terancam.
Membaiknya kesehatan, tingginya kemakmuran dan panjang angka harapan hidup membuat mereka mengalami dilema populasi. Kondisi kian diperparah dengan tren menganut kecenderungan baru, yakni telat menikah atau malah tidak menikah sama sekali.
Pada pasangan menikah, kondisinya juga tidak seideal seharusnya. Banyak juga di antara mereka menjadi malah berintim ria dengan pasangannya. Lengkap sudah, seperti ditulis CNBC Indonesia, tak hanya ancaman resesi ekonomi global, dunia juga tengah di ambang resesi urusan bawah perut.
Isu menurunnya gairah urusan ranjang, terutama kaum milenial, menjadi perhatian berbagai kalangan belakangan di Jepang dan Amerika Serikat. Sebagian penelitian ilmiah bahkan mengonfirmasi ekses negatif dari kebiasaan itu.
Mengutip lappran Orange County Register, kendati menurun jumlah kehamilan usia muda, namun dalam jangka panjang ‘resesi urusan bawah perut’ itu juga mengancam kelangsung populasi satu wilayah di masa depan.
Pada gilirannya memicu terjadinya perlambatan ekonomi daerah setempat. Analis Ekonomi Jake Novak dalam penelitiannya yang dimuat di CNBC International mengungkapkan, penundaan urusan itu sejatinya juga menggambarkan kecenderungan menunda aspek kedewasaan lainnya, seperti membeli rumah, mobil dan sebagainya.
Rendahnya konsumsi itu membuat ekonomi terkoreksi lantaran sumbangsih pendorongnya berkurang. Resesi sendiri, secara sederhana, dimaknai sebagai kondisi kontraksi pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal secara beruntun, alias tidak terjadi pergerakan selama enam bulan berjalan.
Jake menyebut, resesi ranjang akibat hadirnya teknologi. Katanya, teknologi menghadirkan peluang baru, yakni menyendiri dibanding berinteraksi dengan orang lain secara langsung.
“Semuanya, mulai dari pornografi online hingga video game canggih, hingga media sosial digunakan oleh banyak remaja sebagai pengganti kontak dengan manusia nyata, terutama untuk pria,” tulis Jake dalam penelitiannya.
Laporan Institute for Creative Technologies dalam Orange County Register mengonfirmasi temuan itu. Anak-anak, tulis laporan itu, melek teknologi cenderung memiliki masalah dengan lawan jenis.
Bahkan, mereka lebih suka berinteraksi dengan sosok virtual dibanding orang nyata. Asisten Rumah Tangga (ART) virtual pabrikan Amazon, Alexa merupakan satu di antara contohnya.
“Pada tahun 2022, ada kemungkinan bahwa perangkat pribadi Anda akan tahu lebih banyak tentang keadaan emosi Anda daripada keluarga Anda sendiri,” kata Annette Zimmermann, Wakil Presiden Konsultan Gartner.
Di sejumlah negara maju seperti Jepang, robot sudah menggantikan peran pekerjaan endemik manusia, termasuk melayani majikan urusan ranjang. Tak heran, kecenderungan ini membuat populasi di Jepang terus menyusut.
Pada sama sama, angka kesuburan di Jepang disebut berada di titik terendah. Dalam 100 tahun ke depan, Jepang disebut bakal merasakan dampak nyatanya. Kondisi ini membuat usia angkatan kerja di Jepang menua akibat kelangkaan tenaga kerja berusia muda.
Survei pemerintah Jepang seperti dikutip Asia Nikkei, tenaga kerja di sektor pabrikan Jepang turun 9 persen menjadi 10,6 juta dari sebelumnya 11,7 juta hanya dalam kisaran 10 tahun terakhir, sejak 2008.
Pekerja di atas usia 65 tahun terus bertambah. Tahun 2008 naik 6,5 persen, 10 tahun kemudian justru berlipat menjadi 8,9 persen. Pekerja usia di bawah 35 tahun, dalam periode sama, justru turun dari 29 persen manjadi 25,1 persen.
(*)