Kepala BP Batam Blak-Blakan Soal Lahan Tidur Hingga Otoritas Bayangan. Ada Apa Dengan Batam?

kepala bp batam edy putra irawadi buka-bukaan soal kendala dan masalah utama investasi di batam dalam suatu acara di jakarta, rabu (19/9/2019)/foto via cnnindonesia.com

Kepala BP Batam Blak-Blakan Soal Lahan Tidur Hingga Otoritas Bayangan. Ada Apa Dengan Batam?

angkaberita.id– Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami, persoalan utama yang menjadi jarum penghambat masuknya investasi ke lumbung perekonomian Batam sudah ketemu. Bahkan, kondisinya terang benderang.

Namun diakui Kepala BP Batam, pengelolaannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain soal tumpang tindih kewenangan dan perizinan, Badan Pengusahaan Batam tersandera persoalan lahan konsesi ke pihak ketiga namun akhirnya menjadi proyek mangkrak.

Padahal pemerintah pusat berharap Batam menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi tanah air. Selain menjadi jembatan bisnis (hub) dengan Batam, pemerintah pusat menjadikan Batam kawasan industri berbasis 4.0.

BP Batam menjadi leading sector kebijakan itu, termasuk menggiring investor masuk mengucurkan dana segarnya. Khusus lahan, BP Batam kesulitan menariknya kembali lantaran ada proses hukum dulu.

“Saya (BP Batam) nggak bisa ambil, harus lewat pengadilan. Kemudian 7.790 hektare, saya punya di Batam mangkrak, dikasih ke investor tapi dia nggak bangun-bangun,” kata Edy Putra Irawady, Kepala BP Batam blak-blakan dalam acara Squawk Box di CNBC Indonesia, Rabu (19/9/2019).

Batam menurutnya, sebenarnya banyak diminati investor. Selain kompetitif, Batam menurutnya memiliki keunggulan komparatif dibanding kawasan lainnya, termasuk tenaga kerja kapabel dengan kebijakan industri 4.0,” sebutnya.

Edy mengklaim, sepanjang semester I Tahun 2019 investasi masuk ke Batam naik hingga 53 persen dibanding periode sama tahun lalu. Terbaru investor dari Amerika Serikat, bergerak di industri komponen elektronik dan rekondisi pesawat.

Namun peluang itu, menurutnya bisa hilang jika kondisi perizinan masih seperti kondisi selama ini. Menurutnya, di Batam banyak kewenangan tak terlihat (invisible) penghambat investasi, termasuk masih diberlakukannya sejumlah daftar negatif investasi (DNI).

Soal lahan konsesi ke pihak ketiga, Edy mengatakan itu diberikan BP Batam terdahulu, namun tak dimanfaatkan sehingga menjadi lahan tidur. Dulu sebutnya, investor fokus menguasai lahan dibanding realisasi. Namun giliran pemerintah menariknya tidak mudah lantaran ada ada proses hukumnya.

Total menurutnya, terdapat 700 proyek mangkrak dari sekitar 7.790 hektare lahan tidur di tangan pihak ketiga itu. Soal tata niaga, Batam kini tak semudah dulu ketika hendak memasukkan barang atau bahan baku kebutuhan industri lantaran kini ada pembatasan kuota.

“Saya harus dapat perizinan kemenertian pusat, padahal (Batam) sebagai FTZ bukan kepabeanan,” sebutnya seraya menyindir adanya kewenangan tak terlihat selama ini. Sehingga menghambat proses produksi.

Edy mengaku telah mengeluhkan persoalan terkait ke Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Bahkan, menurutnya, BP Batam telah meminta pengecualian ke Menteri Perdagangan. “Saya sudah ketemu (menteri) perdagangan. Dia akan berikan pengecualian, jadi semua kewenangan akan dilimpahkan ke saya (BP Batam),” ungkapnya.

Begitu juga dengan Menteri Perindustrian, Edy mengaku sudah bertemua dengan Airlangga Hartarto. Intinya, BP Batam diberikan keleluasan hanya tunduk ke Peraturan Presiden. “Karena saya (BP Batam) bukan wilayah pabeanan,” sebut Edy.

Secara umum, seperti dilansir Katadata mengutip riset Bank Dunia bertajuk “Global Economic Risk and Implications for Indonesia”, negei ini memang dinilai berisiko, terlalu rumit dan tidak kompetitif rezim perizinannya. Paling ironis, regulasi payung hukumnya justru saling inkonsisten, tidak bisa diprediksi dan saling bertentangan. (*)

Bagikan