COVID-19 Di Singapura, Mengungkap Fakta Terkaburkan Di Negeri Singa

kendati di awal wabah mendapat pujian dunia, kini singapura justru lintang pukang dengan melejitnya kasus covid-19/foto via id.marinabaysands.com

COVID-19 Di Singapura, Mengungkap Fakta Terkaburkan Di Negeri Singa

angkaberita.id– Menuai pujian dunia berkat penanganan efektif di awal wabah, kini Singapura justru lintang pukang menghadapi melejitnya kasus infeksi pandemi COVID-19. Bahkan, terakhir sempat selama empat hari berturut-turut terjadi penambahan rerata 1.000 kasus baru per harinya.

Bersamaan dengan itu, seorang perempuan lansia berusia 84 tahun dilaporkan menjadi pasien ke-12 meninggal akibat COVID-19, dan sehari setelahnya seorang pasien dalam pengawasan (PDP) ditemukan meninggal di tangga rumah sakit perawatannya.

Belakangan, harian Straits Times mengutip keterangan pemerintah, mengklaim pekerja migran asal India itu meninggal bukan akibat COVID-19. Kendati terbilang rendah persentase kematian kasus COVID-19 (CFR) di dunia, namun kasus CFR di panti jompo di Singapura terbilang tinggi di dunia, yakni 20 persen.

Hingga Jumat (24/4/2020), infeksi COVID-19 di Singapura tercatat 12.075 kasus, sebanyak 26 pasien kondisinya kritis. Berbeda dengan empat hari terakhir, per Jumat kemarin hanya terdapat 897 kasus baru. Namun terjadi sebaliknya justru terdapat penambahan 9 klaster baru penularan, termasuk klaster Strand Hotel dan klaster spa kesehatan, Natureland East Coast.

Dari 897 kasus baru itu, sebanyak 853 kasus merupakan pekerja migran penghuni dormitori. 19 kasus merupakan pekerja migran di luar dormitori, dan 25 kasus lainnya merupakan penduduk Singapura, 12 di antaranya penduduk Singapura berstatus pemegang pas kerja.

Meskipun penambahan kasusnya berkurang, namun jumlah sebanyak itu masih menjadikan Singapura sejauh ini, negara dengan kasus COVID-19 tertinggi di Asia Tenggara. Secara global, hingga Sabtu (25/4/2020), Amerika Serikat bertengger di puncak dengan jumlah kasus sebanyak 925.232 pasien, sebanyak 52.193 orang di antaranya meninggal.

Lima negara dengan kasus terbanyak di dunia, sejauh ini masih terkonsentrasi di negara-negara maju, empat di antaranya terkonsentrasi di negara makmur di benua Eropa. Setelah Amerika Serikat, sebaran kasus terbanyak tercatat di Spanyol, Italia, Prancis dan Jerman.

Namun di antara lima negara itu, Jerman paling rendah kasus kematiannya, yakni 5.760 jiwa. Sedangkan empat negara lainnya, kasus kematiannya sudah melampaui angka 20 ribu jiwa. Belakangan, perbedaan jumlah angka kematian di sejumlah negara maju itu memantik perdebatan berujung tudingan miring di antara mereka.

Pakar Jerman terpaksa menerbitkan bantahan terkait sejumlah tudingan miring itu. Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump bahkan sudah mulai kehabisan akal menekan serangan pandemi COVID-19 di negerinya, khususnya kritikan bertubi-tubi dari oposan politik seiring mendekatnya pemilihan presiden di November tahun ini.

Cari Alasan

Tudingan miring juga terjadi di Singapura, terutama ke pekerja migran penghuni dormitori seiring melejitnya kasus COVID-19 di negeri itu. Kendati tak langsung menuding, namun ramai beredar di media sosial setempat komentar nyinyir seperti menyimpulkan mereka, sebagian berasal dari India dan Bangladesh, sebagai “mata rantai” melejitnya kasus pandemi belakangan.

Disebut, cara hidup mereka tak sehat. Begitu juga dengan kebiasan makan mereka. Tak ada satupun komentar mengkritisi kondisi dormitori tempat pekerja migran tinggal. Laporan The Guardian, mengutip pekerja migran mereka seperti hidup dalam penjara. Selain aturan ketat, juga kondisi dormitori tak seluruhnya tersanitasi dengan baik.

Bayangkan, dalam satu kamar bisa berisi hingga 20 orang buat tidur sehabis bekerja. Sehingga sangat sulit mematuhi aturan pembatasan jarak fisik (physical distancing). Apalagi sejak kasus meledak, aturan bagi penghuni dormitori kian ketat.

Penghuni diharuskan bermasker setiap hari, kalau merasakan gejala demam sedikit harus melapor ke pengelola dormitori, dan harus beraktivitas dengan tetap menjaga jarak satu sama lain, minimal satu meter. Belum lagi kondisi dormitori tak seluruhnya tersanitasi dengan baik.

Penelitian guru besar Universitas Selandia Baru di Massey, Prof Mohan Dutta mengungkapkan, sejumlah penghuni mengaku kesulitan mengikuti ketentuan itu, terutama menjaga jarak fisik akibat berjubelnya penghuni. Bahkan, dalam sepekan terakhir, penghuni dikabarkan kesulitan mendapatkan sabun sekadar mencuci tangan di dormitori.

Seiring meledaknya infeksi corona di dormitori kekhawatiran terus melejitnya kasus COVID-19 di Singapura kian menguat, apalagi diperkirakan setidaknya 20 ribu pekerja migran berdiam di sejumlah dormitori. Sebagian besar pekerja migran merupakan buruh pekerjaan konstruksi di Singapura.

Jika melihat sebaran klaster, kekhawatiran itu seperti masuk akal. Namun jika melihat sumber klaster, tak seharusnya penghuni dormitori menjadi alasan pembenar melejitnya kasus COVID-19. Karena berdasarkan sumber klaster, tak sedikit terjadi penularan tanpa diketahui klasternya.

Masih bergentayangannya orang tanpa gejala (carrier) itu, kini menjadi pekerjaan rumah terpelik pemerintahan Lee Hsien Loong, meskipun pemerintah telah mengerahkan ribuan personel angkatan bersenjata Singapura dalam proses pelacakan (tracing) setiap kasusnya. Hingga Jumat (24/4/2020), sumber penularan tercatat sebanyak 49,9 persen kasus lokal.

Kemudian 4,7 persen kasus impor dan 45,4 persen selebihnya tak terungkap klasternya (unlinked). Pemerintah Singapura tengah berusaha mengungkap klaster tak terungkap itu (unliked), termasuk dengan mengimpor ribuan bedcover dari Indonesia mengantisipasi lonjakan kasus akibat OTG unlinked itu.

Berbeda dengan versi pemerintahnya, jagat maya terlihat lebih sibuk mencari alasan dibanding introspeksi dengan kondisi COVID-19 di Singapura. Kini mereka mengkaitkan pekerja migran di dormitori sebagai “mata rantai” penularan. Sebelumnya, saat awal-awal merebak wabah, komentar media sosial sibuk menghakimi pendatang asal Tiongkok.

Namun kemudian bergeser setelah wabah justru mengamuk di Italia dan sejumlah negara makmur di Eropa, giliran mereka menjadi sasaran komentar nyinyir. Bahkan, mereka tak berhenti meskipun terdapat warga Singapura menjadi korban perisakan akibat COVID-19 di Inggris.

Terbaru, dengan merebaknya kasus COVID-19 di penghuni dormitori, media sosial masih disibukkan dengan mencari alasan. Satu komentar menyebut: Jika 2 persen saja dari 20 ribu penghuni dormitori menulari pacarnya, sebagian besar bekerja sebagai asisten rumah tangga di Singapura, dengan nyinyir terdapat komentar menyebut ada 400 keluarga di Singapura terancam tertulari.

Ibarat perang, meminjam istilah Leo Tolstoy dalam bukunya War And Peace, ukuran menang atau kalah peperangan selalu disederhanakan dengan seberapa banyak jatuh korban di setiap pihak.

Pada titik ini, warga Singapura di media sosial agaknya tak ingin disebut sebagai pihak kalah perang di mata dunia meskipun kasus infeksinya terus melejit, dengan selalu mencari alasan sebagai pembenar, jika pada akhirnya angka kematian kasus COVID-19 bertambah. (*)

Bagikan