Alasan Usang Penanganan Stunting Di Kepri
angkaberita.id - Di depan Wapres Makruf Amin, Gubernur Ansar meyakinkan angka stunting Kepri di tahun 2023 bakal turun di angka 13 persen. BKKBN Kepri menargetkan di tahun 2024 Kepri tembus 10 persen, sehingga menyokong target nasional 14 persen di tahun sama.
Soal turun menurunkan, Gubernur Ansar dan Kepala BKKBN Rohina agaknya segendang sepenarian, meskipun kenyataan mereka terseok-seok dengan belitan kerja koordinasi (pentahelix) problem laten penanganan stunting di Bumi Segantang Lada. Kenapa?
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadikan perairan Natuna wilayah penangkapan ikan terukur menjadi bukti Kepri provinsi kaya ikan. Dengan luas perairan 96 persen, Kepri memang provinsi kaya ikan di Tanah Air. Sehingga kasus stunting akibat defisit gizi seharusnya mengecil.
Tapi, data BKKBN Kepri, masih tercatat puluhan ribu keluarga di Kepri berisiko stunting. Per 2022, malah tercatat ribuan anak terindikasi stunting. Padahal, BKKBN berharap Kepri dapat menjadi andalan Presiden Jokowi mengakhir masa jabatan dengan stunting di angka 14 persen.
Hitung-hitungannya, seperti diakui Kepala BKKBN Kepri, setiap tahunnya kasus stunting di Bumi Segantang Lada harus turun rata-rata 2,7-3 persen. "Maka, angka (stunting) Kepri tahun 2021 17,6 persen di tahun 2024 akan menjadi 10 persen," kata Rohina menyodorkan alasan pihaknya pasang target stunting 10 persen.
Beras Telur Sedekah
Seperti Bappenas, BKKBN Kepri agaknya memilih memaksimalkan sisa waktu tersedia, dengan mengoptimalkan kerja-kerja sinergi lintas sektoral (pentahelix). Karena, kata Rohina, masih banyak provinsi lain angka stunting di atas 30 persen. Sehingga tak mudah merealisasikan target nasional.
"(Selebihnya) mohon dukungan dan doa kita semua," ajak Rohina soal penanganan stunting di Kepri, pekan lalu. Sebab, kabupaten/kota menurutnya, kini tengah gencar penanganan stunting di wilayahnya masing-masing. Dia lantas memamerkan sejumlah ikhtiar melawan stunting setahun terakhir.
Saat kasus merangsek naik di tahun 2021, BKKBN Kepri langsung membentuk Satgas Stunting hingga ke tujuh kabupaten/kota di Kepri. Lewat kebijakan beras, telur dan sedekah (BTS), bersama Pemprov Kepri kerja-kerja pencegahan stunting digencarkan. Hasilnya, partisipasi warga mengalir lewat bank food, bantuan telur dan sebagainya.
Berdasarkan Perpres No. 72 Tahun 2021, penanganan stunting di Tanah Air bukan tanggung jawab BKKBN saja, tapi juga Pemprov dan Pemko/Pemkab di Tanah Air. Tahun 2022, tercatat terdapat 21 Kementerian/Lembaga mendapatkan anggaran terlibat penanganan stunting sesuai dengan tupoksinya, termasuk Kemenkes melalui Dinkes di derah.
Di Kepri, Pemprov lewat Dinkes di tahun 2024 bahkan menganggarkan duit APBD tak sedikit. Dalam RKPD Kepri 2024, meskipun tak spesifik menyebut stunting, tapi Dinkes menganggarkan sejumlah kegiatan menyasar penanganan stunting, termasuk penanganan penyakit infeksi anak seperti diare.
Sebab, seperti diakui Rauf, Fungsional Kesmas Dinkes Kepri, stunting bukan semata persoalan tiadanya suplai pangan, penyakit infeksi, tapi juga pengasuhan keliru terutama pola makan. "Semisal, makanan ada. Tapi, anak tak makan sepenuhnya," kata Rauf.
Dia lantas mencontohkan kebiasaan orangtua abai saat menyuap buah hatinya. "Makan memang makan, tapi makanannya berceceran ke lantai," beber dia. Temuan Satgas Stunting, untuk sebagian, seperti mengamini pandangan itu. Temuan di lapangan, versi mereka, pola asuh dan kesadaran gizi seimbang masih rendah.
Satgas Stunting
"Di Bintan, malah habis dapat ikan, uangnya malah dibelikan mi instan," ungkap staf BKKBN mengulang temuan Satgas Stunting saat turun ke lapangan. Selain kesadaran gizi dan pola asuh, Satgas Stunting juga mendeteksi tiga permasalahan laten penanganan stunting di Kepri.
Yakni, tingkat kesejahteraan rendah sehingga kurang pemenuhan gizi protein. Istilah lainnya, keluarga bersiko. Kemudian, terbatasnya dokter kandungan dan anak di lokasi terpencil, terutama di pulau, sehingga harus menyeberang laut. Kendalanya, saat November-Maret terjadi cuaca ekstrem, sehingga penanganan terhambat.
Terakhir, kondisi sanitasi hunian seperti jamban kurang layak, sehingga keluarga tadi berisiko stunting. Kepala BKKBN Kepri tak menampik temuan itu. Lokasi terpisah perairan menjadikan upaya edukasi ke warga, terutama ibu dengan kondisi empat "terlalu" menjadi tak mudah.
Padahal, secara kesehatan, pencegahan stunting mulai sejak hulu. Seperti kesehatan reproduksi remaja putri, kemudian sebelum kehamilan (ANC), dan saat kehamilan. Nah, khusus kehamilan tadi, data BKKBN Kepri terhitung banyak keluarga berisiko dengan status, seperti terlalu muda dan terlalu tua saat hamil, serta terlalu dekat dan terlalu banyak jarak kelahirannya.
"Kondisi geografis (kendala)," kata Rohina. Kendala lainnya, soal tak seluruh wilayah Kepri terjangkau koneksi telekomunikasi, sehingga sulit konseling secara online. Karenanya, Pemprov menampik jika revisi Perda RPJMD baru-baru ini dikaitkan dengan target stunting Kepri meleset.
Kepala Baperenlitbang Kepri, Misni berdalih revisi karena perubahan SOTK dan perubahan kebijakan strategis di tingkat nasional. "Renstra SOTK baru perlu Pergub, dasarnya Perda," kilah Misni, belum lama ini. Meskipun belakangan BKKBN Kepri juga mendefinsi ulang "kriteria" kerdil stunting.
Terbaru, rencana Kemenkes menyewa satelit Starlink seperti mengamini keluhan Rohina. Kabar baiknya, ikhtiar BTS Kepri terus bergayung sambut. Tak sedikit warga, termasuk kalangan dunia usia, seperti Apindo turun membantu lewat bapak asuh. Juga banyak pelajar sekolah di Kepri mendonasikan uang saku mereka membeli sembako.
Pekan lalu, BKKBN di Batam membagikan hasil BTS ke sejumlah keluarga berisiko di sana. Terakhir, BKKBN agaknya lupa di Bintan telah terdapat Puskesmas keliling pakai kapal. Atau, dapat juga ditiru inovasi Kemenag Lingga lewat perahu layanan nikah keliling pulau. Apalagi, Kemenag juga ikut bagian pentahelix stunting. Jadi, kenapa Kepri kelabakan hadapi stunting?
(*)