Bentrok Rempang, Jaringan Perempuan-Anak Batam Khawatirkan Psikis Korban Anak
angkaberita.id - Belasan organisasi tergabung dalam jaringan "Peduli Perempuan dan Anak-Safe Migran Batam" menyampaikan keprihatinan mereka setelah sejumlah anak menjadi korban ekses bentrokan warga dengan aparat keamanan di Rempang, Kamis (7/9/2023).
Bentrok setelah warga menolak rencana relokasi perkampungan mereka menyusul rencana pengembangan Rempang Eco City. Selain menyatakan keprihatinan, mereka juga meminta pemerintah segera menyediakan dan atau memberikan bantuan perawatan dan rehabilitasi psikologis terhadap korban bentrokan, terutama anak-anak.
"(Kami) mengimbau semua pihak menahan diri, mengendepankan dialog secara humanis dalam penyelesaian masalah (relokasi)," kata Sugeng Agung Nugroho, Ketua Jaringan Peduli Perempuan dan Anak" dalam rilisnya di Batam, Jumat (8/2023).
Seperti diberitakan, akibat bentrokan sejumlah anak menjadi korban dan harus dilarikan ke rumah sakit. Warga menolak rencana pematokan lahan bakal lokasi pengembangan kawasan Rempang, meskipun BP Batam mengklaim telah melakukan sejumlah upaya dialog dengan warga dalam sejumlah kesempatan.
Sebanyak 15 organisasi tergabung dalam jaringan tadi, seperti Yayasan Dunia Viva Wanita (YDVW),Yayasan Embun Pelangi (YEP), Satgas NTT Peduli, PERKATA (Perempuan Merdeka dan Setara), KKPPMP Keuskupan Pangkalpinang, Rumah Faye, Yayasan Insan Sehati Sebalai (YISS, Yayasan Lintas Nusa (LINUS).
Kemudian, Yayasan Gembala Baik, Yayasan LIBAK (Layanan Informasi Bantuan Advokasi Kemanusiaan), Yayasan Berlian, Yayasan Bina Mandiri Batam, Bala Keselamatan, FPPI (Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia) Kota Batam, dan GPIB.
Kampung Adat
Sebelumnya kecaman juga terdengar dari koalisi masyarakat sipil, beranggotakan WALHI dan YLBHI dan sejumlah organisasi kemasyarakatan lainnya. Mereka menilai pengembangan Rempang Eco City tak melibaykan warga, bahkan mengabaikan suara mereka, terytama masyarakat adat di 16 Kampung Melayu Tua di sana.
Atas dasar itu, mereka meminta kepala negara membatalkan Rempang Eco City. Selain mengakibatkan bentrokan juga berpotensi menghilangkan hak atas tanah dan identitas adat masyarakat di sana. Selain itu, mereka juga pemerintah memastikan perlindungan dan pengakuan terhadap seluruh hak dasar masyarakat adat di Rempang.
Di akhir, dalam empat pernyataan sikap, mereka meminta audit menyeluruh BP Batam. "Terkait kepatuhan keuangan dan implementasi prinsip HAM dalam seluruh proses dan perencanaan pembangunan," kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, atas nama koalisi masyarakat sipil, dalam rilisnya, kemarin.
(*)