Lili Mundur Dari KPK, Kenapa Golkar-Nasdem Punya Skenario Lain?
angkaberita.id - Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua KPK, resmi mengundurkan diri menyusul dugaan gratifikasi MotoGP di Mandalika. Presiden Jokowi dapat menggantinya dengan lima capim lolos seleksi tapi kalah suara saat voting di Komisi III DPR pada tahun 2019. Namun Golkar dan Nasdem rupanya punya skenario berbeda. Kenapa?
"Saya bisa sampaikan nanti Presiden (Jokowi) akan menyampaikan beberapa nama, nama-nama ini adalah nama-nama orang yang dulu diajukan kepada Presiden yang tidak terpilih, yang diajukan ke DPR yang tidak terpilih. Presiden dulu mengajukan 10, terpilih lima, lima ini lah nanti akan diajukan oleh Presiden," ungkap Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua Dewan Pengawas KPK, seperti dikutip CNN Indonesia, Senin (11/7/2022).
Kata dia, Dewas KPK tak melanjutkan sidang etik lantaran Lili mengundurkan diri per 11 Juli 2022. Presiden Jokowi disebut telah meneken Keppres pemberhentian Lili. Terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR, Adies Kadir menyatakan pengganti Lili dipilih cari lima capim gagal saat voting dulu. Namun, dia menambahkan, dengan embel-embel keharusan memenuhi syarat.
"Dipilih dari calon-calon yang kemarin yang memenuhi syarat," kata Adies, politisi Golkar, seperti dilansir CNN Indonesia, Senin. Adies menyebut, Presiden dapat kembali mengirim calon pengganti Lili ke DPR. Pemilihan nama definitif tetap melalui uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III.
Tafsir Golkar-Nasdem
Katanya, tak ada batasan waktu Presiden mengusulkan nama pengganti. Hanya saja, menurutnya, tak menutup kemungkinan pengganti Lili nanti hanya berstatus Plt hingga habis masa jabatan komisioner KPK periode sekarang, tahun depan.
"Perlu diketahui juga keanggotaan ini kan berakhir September 2023, masih ada setahunan lebih, kalau Plt-nya ditunjuk terus proses pergantiannya dikirim juga setahun, mungkin bisa juga Plt seterusnya," beber Adies. Senada dengan Adies, Ahmad Sahroni. Politisi Nasdem itu berpendapat semua keputusan di tangan Presiden.
Hanya saja, seperti Adies, meskipun calon pengganti bisa dari lima capim kalah voting dulu, tapi sepenuhnya keputusan Presiden. "Terlampir mekanisme pemilihan pimpinan KPK apabila ada yang mengundurkan diri sesuai UU Nomor 19 Tahun 2019. Untuk pemilihan tidak harus urut kacang, dipilih dari 5 calon terakhir, jadi kembali lagi tergantung bapak presiden," kilah dia, seperti dikutip detikcom, Senin (11/7/2022).
Bahkan, menurutnya, DPR masih bisa meminta nama-nama baru jika kelima capim tak terpilih di 2019 tak memenuhi syarat. Selain itu, katanya, Presiden juga dapat menerbitkan Perppu terkait penggantian Lili. "Nama-nama tersebut kalau tidak memenuhi persyaratan, DPR dapat meminta nama baru di luar nama yang lama. Masih ada kemungkinan kalau presiden mengeluarkan Perppu lagi," sebut Sahroni. Hanya saja, Presiden boleh saja berpatokan pada lima capim kandas saat voting tahun 2019.
Merujuk UU KPK, Pasal 33 ayat (1) menjelaskan bahwa bila terjadi kekosongan pimpinan KPK, maka Presiden mengajukan penggantinya ke DPR. Pimpinan pengganti itu dipilih dari calon pimpinan KPK yang tidak terpilih di DPR. Aturan itu tercantum dalam ayat 2.
"Anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sepanjang masih memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 29," bunyi Pasal 33 ayat (2)
Kontroversi Capim Kandas
Seperti diketahui, saat voting pemilihan capim KPK di Komisi III DPR tahun 2019, Lili mendapatkan 44 suara sekaligus menduduki lima besar capim terpilih 2019-2023. Firli meraih dukungan terbanyak dari 56 anggota Komisi Hukum DPR saat itu. Sedangkan dari lima capim gagal, tiga orang di antaranya sama sekali tak mendapat suara saat voting.
Dari dua capim mendapatkan suara di Komisi III, meskipun terpaut jauh dari Lili, Sigit Dana Joyo, secara teori, paling berpeluang menggantikan Lili hingga habis masa jabatan. Sigit, orang kepercayaan Menkeu Sri Mulyani, mendapatkan dukungan 19 anggota Komisi III. Jauh di atas Luthfi K. Jayadi, pegiat antikorupsi, sebanyak 7 suara.
Tiga nama lainnya, yakni Johanis Tanak, Roby Arya Brata dan I Nyoman Wara tak mendapatkan suara sama sekali. Berikut sekilas jejak mereka saat fit and proper test di Komisi III DPR.
Sigit Danang Joyo
Berstatus PNS di Kemenkeu RI. Saat fit and proper test, 11 September, dia setuju KPK diberikan kewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan memiliki Dewan Pengawas.
Lutfi Jayadi Kurniawan
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus pendiri Malang Corruption Watch (MCW). Dia disebut-sebut sempat menyampaikan keinginan membongkar korupsi di TNI.
I Nyoman Wara
Berasal dari BPK, saat ditanya pansel soal audit BLBI, dia mengklaim BPK telah mengaudit sesuai standar dan ditemukan kerugian negara.
Johanes Tanak
Capim dari Kejaksaan Agung. Dia menjabat Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara saat fit and proper test di DPR. Nah, saat proses wawancara dan uji publik pada 28 Agustus 2019, dia ditanya pengalaman menangani kasus korupsi bikin dia dilema. Blak-blakan, dia menyinggung kasus kader Nasdem, HB Paliudju mantan Gubernur Sulawesi Tengah. Kata dia, penetapan tersangka Paliudju membuat dia dipanggil Jaksa Agung, M. Prasetyo sekaligus kader Nasdem.
Robby Arya Brata
Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha pada Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet (Setkab). Dia setuju revisi UU KPK. Katanya, demi menyelamatkan KPK dari kepentingan politik. Seperti Nyoman dan Tanak, dia juga mendapat nol dukungan di DPR saat voting.
(*)