angkaberita.id

Kunci Pilpres 2024 Kursi Parpol, Nama Besar Anies-Ganjar Tak Menolong!

pemilu 2019, penghitungan konversi suara ke kursinya menggunakan metode saint lague, bukan lagi bilangan pembagi pemilih/foto potretnews.com

Ilustrasi caleg stres gagal meraih kursi di legislatif/Foto shutterstock/luxorphoto via merdeka.com

Kunci Pilpres 2024 Kursi Parpol, Nama Besar Anies-Ganjar Tak Menolong!

angkaberita.id - Diam-diam petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) turun bergerilya membangun wacana koalisi Pilpres. Terungkap, mereka melobi Nasdem dan PAN sekaligus membentuk poros politik, meskipun belum menyebut nama Capres.

Ketum Suharso Monoarfa disebut-sebut telah menemui Surya Paloh, sebelum melobi Zulkifli Hasan, masing-masing, Ketum Nasdem dan PAN. "Sudah (bertemu), komunikasi sudah. Dengan Nasdem, lalu dengan PAN," ungkap Arwani Thomafi, Sekjen PPP, seperti dilansir merdeka.com, Jumat (15/4/2022).

Dengan Zulhas, sapaan Zulkifli Hasan, di akhir Maret 2022. Jauh sebelum itu, Arwani menambahkan, dengan Surya Paloh. Intinya, mereka menjajaki peluang koalisi, meskipun tak harus mengusung kader internal masing-masing mereka. "Koalisi pada akhirnya bisa mengusung. Untuk (Capres) dengan siapanya ya belum ya," tegas Arwani.

Dengan jumlah kursi 19 di DPR, kalau tak ingin ketinggalan gerbong Pilpres, PPP agaknya sadar diri harus sejak awal menggeber kerja-kerja politik berujung koalisi. Selain demi mendongkrak elektabilitas partai, juga tak berakhir menjadi penonton di Pilpres mendatang. Nasdem dan PAN merupakan target paling masuk akal.

Sebab, merujuk hasil survei SMRC, Nasdem kecil peluang berkoaliasi dengan PDIP dan Gerindra. Sebab, kemungkinan besar, PDIP-Gerindra bakal berkoalisi mengusung Prabowo-Puan sekaligus merealisasikan janji tak tertulis "Batu Tulis" Mega-Prabowo di Pilpres 2009. Dengan skenario Prabowo-Puan, praktis Pilpres mendatang menyisakan dua Capres terkuat versi sejumlah jajak pendapat.

Yakni, Ganjar dan Anies. Uniknya, keduanya juga belum jelas jaminan parpol pengusungnya. Ganjar, meskipun kader PDIP, namun belum ada jaminan melaju dari Kandang Banteng. Sedangkan Anies, kendati relatif mengakar di konstituen PKS, tapi sejauh ini belum ada pernyataan formal dukungan PKS ke Gubernur DKI Jakarta itu.

Saat sama, Golkar dengan jumlah kursi terbesar kedua di DPR, tapi elektabilitas Airlangga Hartarto kurang moncer di sejumlah jajak pendapat. Airlangga Ketum Golkar. Praktis, kecuali Prabowo-Puan lewat PDIP-Gerindra, koalisi Pilpres lainnya masih dinamis, termasuk calon paketnya.

Memang, belakangan mencuat paket Ganjar-Erick dan Anies-AHY. Namun, hasil jajak pendapat Indikator Politik belum lama ini, hanya sebatas memetakan hasrat publik, bukan keputusan partai politik. Padahal, dengan presidential threshold 20 persen dan monopoli Parpol terhadap proses Pilpres bertameng UU No. 7/2017, Ganjar-Anies harus berkompromi kalau mereka ingin namanya di tiket kertas suara Pilpres 2024.

Parpol butuh popularitas mereka demi mendongkrak elektabilitas di legislatif. Sedangkan Ganjar-Anies perlu Parpol agar tak sekadar Capres di lembaga survei dan jajak pendapat. Nah, manuver kader PPP di Bekasi lewat spanduk dukungan ke Anies Baswedan baru-baru ini, di mata analis politik, tak lebih taktik mengerek suara internal. Apalagi, PPP berhasrat merebut kembali kantong suara di masa lalu, seperti DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Nama Anies terbilang mendapat hati di tiga provinsi itu.

Ambang Batas Kunci Permainan

Demokrat tak keliru dengan menuding presidential threshold 20 persen menutup peluang Capres alternatif. Dengan jumlah kursi semenjana, tidak ada pilihan lain ke Demokrat ke Pilpres, selain berkoalisi dengan parpol lain.

Nah, untuk sebagian, PKS disebut paket koalisi ideal, dengan mengusung Anies-AHY sebagai kompensasi. Persoalannya, jumlah kursi gabungan keduanya kurang dari 115 sekaligus batas minimal pencalonan seperti dipersyaratkan dalam Pilpres.

Menambal defisit sebanyak 11 kursi tadi, Nasdem dan PPP disebut menjadi pilihan masuk akal. Setelah keduanya, Golkar dan PAN menjadi opsi alternatif. Kabar buruknya, siapapun mereka, Demokrat pada akhirnya harus siap menerima konsekuensi politik.

Pertama, boleh jadi AHY terpental, tergantikan nama lain mendampingi Anies. Kedua, daya tawar parpol "ketiga" justru lebih tinggi nantinya, karena mereka memegang kunci penggenap ambang batas 20 persen tadi. Kompromi jumlah kursi menteri di kabinet mereka, untuk sebagian, menjadi jalan tengah paling tidak mengenakkan.

Kabar buruk lainnya, jika Parpol "memaksimalkan" pengaruh UU Pemilu, bisa-bisa, Anies-AHY tak melenggang, meskipun PKS dan Demokrat mendukung. Sebab, semisal, PPP dan Nasdem serta PAN sepakat berkoalisi dan mengusung Ganjar-Erick, serta Golkar dan PKB mengusung Airlangga-Khofifah.

Dua paket terakhir, jumlah kursi koalisi mereka melebihi ambang batas pencalonan Pilpres. Hanya saja, Anies-AHY tak sendirian, kondisi serupa juga dapat terjadi ke Ganjar, atau siapapun nama potensial di Pilpres 2024 mendatang.

(*)

Bagikan
Exit mobile version