angkaberita.id

Jalan Tengah 15 Persen, Kenapa Pilpres Perlu Batas Ambang Pencalonan?

pemilu 2019, penghitungan konversi suara ke kursinya menggunakan metode saint lague, bukan lagi bilangan pembagi pemilih/foto potretnews.com

ilustrasi surat suara pemilu/foto intisari.grid.id

Jalan Tengah 15 Persen, Kenapa Pilpres Perlu Batas Ambang Pencalonan?

angkaberita.id - Meskipun Pilpres masih dua tahun lagi, namun geliatnya telah terasa sejak sekarang. Isu ambang batas pencalonan (presidential threshold) terus menjadi tarik ulur politik, termasuk di kalangan parpol. Kenapa Pilpres perlu batas ambang batas pencalonan?

Bagi sebagian parpol, ambang batas pencalonan diperlukan. Nasdem semisal, melalui Ketua DPP Atang Irawan, menilai ambang batas penting demi memperkuat sistem presidensial. Ambang batas pencalonan juga menaikkan kualitas paslon, karena mereka harus melewati mekanisme penentuan atau seleksi di koalisi parpol.

"Presidential threshold penting (demi) memperkuat sistem presidensil, meskipun sebaiknya PT harus diikuti dengan electoral threshold dan menaikan parliamentary threshold, presidential threshold dapat menaikkan kualitas paslon," kata Atang, seperti dikutip merdeka, Rabu (15/12/2021).

Hanya saja, menurut Atang, besaran Presidential Threshold 20 persen perlu diperhatikan. Sebab, jika melihat praktik selama ini, mengakibatkan adanya dua paslon di Pilpres. Imbasnya, rentan polarisasi di masyarakat. Sehingga, dalam hemat dia, perlu dipertimbangkan turun menjadi 15 persen, sehingga bisa lebih dari dua Paslon.

Selain mengantisipasi polarisasi, juga membuka ruang parpol merekrut paslon, termasuk mempermudah ruang koalisi. "Sehingga ruang demokrasi akan lebih terbuka dan kompetitif," klaim Atang. Meski demikian, dia tak sepakat jika syarat ambang batas ditiadakan alias nol persen.

Selain berpotensi banjir Paslon, juga rentan kebuntuan hubungan antara Presiden dan DPR. Kelak presiden terpilih rentang digulingkan DPR. "Presiden akan cenderung mendapatkan dukungan sedikit di DPR, berpotensi bisa memunculkan impeachment pada Presiden," beber Atang berteori.

Kata dia, hingga sejauh ini parpol koalisi pemerintah, termasuk Nasdem, sudah bersepakat tidak mengubah UU Pemilu. "NasDem memiliki posisi politik bersama dengan pemerintah," tegas Atang. Senada dengan Atang, Hendrawan Supratikno. Bedanya, politisi PDIP itu mendungkung presidential threshold 30 persen dan parliamentary threshold 10 persen.

"Yang ideal, sesuai rumus umum di negara-negara sistem presidensial, parliamentary threshold 10 persen, dan presidential threshold 30 persen, agar sistem presidensial berjalan seiring dengan multi-partai sederhana," kata dia, Rabu (15/12/2021).

Nah, berbeda dengan keduanya, seperti dilansir medcom.id, empat parpol dikabarkan mendukung penghapusan ambang batas alias presidential threshold nol persen. Mereka, yakni PAN, Demokrat, PKS, dan Gerindra. Menurut mereka, banyak calon potensial bisa diusung di Pilpres 2024.

Namun parpol berpotensi mendukung tak memiliki kekuatan besar, terutama memenuhi presidential threshold. Contohnya Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Anies Baswedan. Uniknya, kecuali PKS dan Demokrat, dua parpol lainnya tergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Makruf. Artinya, secara politis diametral dengan pandangan Nasdem dan PDIP, parpol koalisi Jokowi-Makruf.

(*)

Bagikan
Exit mobile version