angkaberita.id

Soal Bansos COVID-19, Kenapa Pemda Harus Buka Mata Soal Perempuan Kepala Keluarga?

pandemi covid-19 berjangkit di sekujur tanah air, sudah 29 dari 34 provinsi terjangkit/ilustrasi via sukabumiupdate.com

pandemi covid-19 berdampak terhadap keluarga, keluarga dengan perempuan sebagai kepala keluarga paling terdampak/foto ilustrasi virus corona via kompas.com

Soal Bansos COVID-19, Kenapa Pemda Harus Buka Mata Soal Perempuan Kepala Keluarga?

angkaberita.id - Pandemi COVID-19 berdampak meningkatnya perempuan sebagai kepala keluarga, sebagian akibat perceraian atau kematian laki-laki kepala keluarga, di Tanah Air. Padahal, secara sosial ekonomi, perempuan tergolong rentan dalam situasi itu. Karena itu, pemerintah harus turun tangan, termasuk mengakomodasi perempuan keluarga dalam situasi sekarang.

Penegasan itu merupakan satu dari lima poin tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan (Koalisi). Empat lainnya, paling krusial, Koalisi juga mendesak pemerintah memperhitungkan perempuan kepala keluarga sebelum menyusun kebijakan, termasuk di masa pandemi terutama soal bansps. Berikut detailnya:

(1) Pemerintah menegaskan perempuan bisa menjadi kepala keluarga dan memperhitungkan mereka sebagai bagian dari masyarakat yang perlu diakomodasi kebutuhannya.

(2) Pemerintah melibatkan perempuan kepala keluarga dalam pengambilan keputusan di tingkat desa/kelurahan agar akses mereka terhadap layanan pemerintah, terutama bantuan sosial, makin besar.

(3) Pemerintah memberikan akses yang lebih besar bagi perempuan disabilitas agar akses informasi, bantuan sosial, dan vaksinasi.

(4) Pemerintah memperbaharui data yang memperhitungkan keluarga yang dikepalai oleh perempuan. Sebab data tentang keluarga yang dikepalai perempuan sudah ada namun jarang diperbarui.

(5) Pemerintah menjadikan perempuan kepala keluarga dalam prioritas akses vaksinasi. Sebab, kesehatan mereka menjadi sandaran bagi para generasi penerus, yakni anak-anaknya.

Sebab, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2020, secara keseluruhan ada 11,44 juta keluarga dengan perempuan kepala keluarga (breadwinner), atau 15,7 persen dari total rumah tangga di Tanah Air. Dibanding tahun 2016, angka itu naik sebesar 31 persen, mayoritas kelas ekonomi menengah ke bawah.

Co-Direktur Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), bagian Koalisi, Fitria Villa Sahara, sebanyak 95 persen perempuan kepala keluarga bekerja di sektor informal, seperti pedagang, buruh, petani, atau buruh tani. Sebagian besar mereka pendapatan kurang dari Rp 500 ribu setiap bulannya.

“Sebelum pandemi mereka sudah prasejahtera. Pandemi membuat mereka makin jauh dari sejahtera,” kata Villa. Dia lantas menyodorkan kisah Nur Hayati (46), perempuan kepala keluarga di Bantul, Yogyakarta. Selepas cerai tahun 2014, dia hidup sebagai buruh harian, dengan gaji Rp 40 per hari. Padahal, dia memiliki dua anak masih sekolah.

Maret 2021, dia sempat bekerja di pabrikan garmen di Bantul dengan gaji Rp 1,5 juta, namun akibat PPKM pabrik berhenti. Kian pelik, setelah ponsel satu-satunya di keluarga rusak. Padahal, selain urusan lain, ponsel jga dipakai buat sekolah daring anaknya. Terpaksa, dia memakai tabungan tersisa agar anaknya tetap dapat sekolah daring.

Persoalannya, kata Villa, sebagai kepala keluarga, status Nur Hayati belum diakui. Terbukti, setiap bansos dia tidak dimasukkan daftar penerima. Villa menyebut, ketentuan UU Perkawinan hanya mengakui laki-laki sebagai kepala keluarga. Meskipun UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, membuka peluang pengakuan legal perempuan jika mengajukan perubahan status kepala keluarga dalam KK.

Namun banyak belum mengajukan perubahan itu, sebab kental berkembang budaya laki-laki kepala keluarga. Koalisi beraggotakan sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Filantropi Indonesia, Perkumpulan Keluarga Berencana Nasional (PKBI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), dan Lingkar Temu Kabupaten Lestasi (LTKL)

(*)

Bagikan
Exit mobile version