COVID-19: Sekolah Daring, Kenapa Bocah Ali Kini Jadi Uring-uringan?
angkaberita.id - Kendati berisiko, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo akhirnya memilih menerapkan sekolah tatap muka (PTM) di DKI Jakarta dan Jawa Tengah dibanding terus menunda persekolahan dengan berbagai alasan, termasuk soal capaian vaksinasi.
Apalagi, jika pelaksanaan sekolah daring (PJJ) hanya membebani peserta didik akibat tenaga pendidik sebatas sibuk "mengajar" melalui pesan WA tanpa alternatif lain. Meskipun mengizinkan PTM, SKB 4 Menteri tak melarang peserta didik meminta PJJ ke sekolah bersangkutan.
Sekolah juga tak boleh menolak keinginan itu. Sebab, izin orangtua menjadi syarat utama peserta didik ikut PTM. Hanya, seperti ditegaskan DPR, orangtua menolak PTM tidak berhak melarang orangtua peserta didik setuju PTM. Pendeknya, mereka tidak setuju PTM tak perlu mengompori lainnya.
"Karena itu, kita meminta orang tua belum mengizinkan anaknya sekolah (tatap muka), tidak perlu untuk atau sifatnya mengajak orang tua lain (peserta didik) sudah memutuskan anaknya diizinkan sekolah. Dengan cara itu, saya meyakini tidak ada protes atau kegaduhan," ujar Syaiful Huda, Ketua Komisi X DPR, seperti dilansir detikcom.
Dia menamabahkan, sekolah PTM di Jakarta akan semakin diperbanyak. Syaiful meminta agar orangtua mempersiapkan itu, terutama jika mengizinkan anaknya PTM. Tahap awal, per 30 Agustus 2021 lalu, sebanyak 610 sekolah tatap muka mulai jenjang PAUD hingga SMA sederajat, dengan skala terbatas dan prokes ketat.
Demi identifikasi plus minus sekolah tatap muka, Syaiful menegaskan, memang harus sewajarnya pelaksanaan. Nah, peserta didik dapat berkontribusi menambal kekurangan dalam proses simulasi PTM itu. Kontribusi mereka setara guru dan orangtua dengan peran masing-masing.
"Jadi semangatnya mencari titik temu dari simulasi lalu dilakukan perbaikan," kata Syaiful. Dia meminta dinas pendidikan di Tanah Air mengawal sekolah tatap muka denganturun mengecek prosesnya di lapangan. Sehingga dapat langsung evaluasi secara teratur demi mencarikan terobosan persoalan terjadi. "Misalnya kurang taat protokol kesehatan, sarana prasarana mungkin belum sepenuhnya sesuai standar (dinas turun membantunya)," kata Syaiful.
Tantangan Guru
Tanpa terobosan berarti, sekolah daring alias PJJ hanya memanen kebosanan peserta didik. "Aku bosan sekolah di rumah terus," tutur Ali, seorang peserta didik, seperti dilansir merdeka.com, pekan lalu. Hingga tahun ajaran berganti, Ali belum pernah melihat langsung wajah teman sekelasnya di sekolah dasar.
"Aku tidak mau kayak gini terus, tidak seru tidak ada teman tidak ada ibu guru," ucap Ali polos. Kabar buruknya, Ali mengobati kebosanan lewat gawai. Kini, Dian orangtua Ali khawatir anaknya kecanduan gawai. "Sebagai orang tua makin ke sini makin serba salah. Pandemi bikin waswas, tapi psikologis anak saya kian terancam," keluh Dian.
Dian memahami, sekolah daring demi mengantisipasi risiko COVID-19 bagi peserta didik, termasuk buah hatinya. Tapi, menurutnya, waktu setahun lebih dirasa cukup bagi pemerintah beradaptasi dan melahirkan terobosan persekolahan. Seperti memilah dan memilih kebijakan paling realistis sesuai dinamika pandemi, terutama menyangkut masa depan pendidikan anak.
Sebab pemerintah juga memiliki tanggung jawab. "Saya merasa pemerintah hanya berpikir masalah anak saat pandemi sebatas belajar mengajar. Padahal kalau dilihat lebih luas, banyak sekali dampak buruk dari pandemi buat anak," kata Dian. Dia mengakui, akibat pandemi sering komunikasi dirinya dengan sang anak berakhir beda pendapat. Ujungnya terjadi luapan emosi tak terkendali.
"Anak mengeluh ini itu. Kita juga banyak tugas lain, belum lagi ibu yang sambil bekerja. Kondisi ini kemudian memunculkan gesekan. Akhirnya yang tersisa cuma kemarahan," kenang Dian. Seperti orangtua lainnya, dia berharap pemerintah menangkap suasana kebatinan itu.
"Jangan sampai anak-anak dua kali menjadi korban. Akibat pandemi dan mental (mereka) tertekan," tegas Dian. Tak hanya orangtua peserta didik, kalangan guru juga mengakui banyak kendala selama PJJ. Apalagi setiap peserta didik memiliki karakter berbeda, terutama urusan menyerap pelajaran.
Kondisi itu menuntut guru kreatif, dan tak sekadar menggugurkan keajiban, dalam proses kegiatan belajar mengajar daring. "Bagi yang tidak mengerti, memang kita harus beri perhatian ekstra. Misalnya video call pribadi atau belajar langsung di rumah saya," kata Syifa, seorang guru sekolah dasar di Jakarta.
Dia mengakui, model pembelajaran jarak jauh selama pandemi menuntut guru tak sekadar belajar rutinitas. Terpenting, lanjut Syifa, guru harus mampu membangkitkan semangat belajar peserta didik seiring lahirnya rasa bosan. Tantangannya ialah menciptakan metode pengajaran agar peserta didik tetap fokus.
Dia tak menampik, urusan inovasi kegiatan belajar mengajar selama daring menjadi tugas guru. Kalau tidak, tak ada sama sekali hasil persekolahan selama pandemi. Sebaliknya justru tumbuh kembang emosional negatif. Satu penelitian mengonfirmasi fenomena itu.
"Hasil penelitian kami pada 1.263 siswa mulai jenjang SD hingga SMA, menunjukkan 57 persen siswa SD dan SMP merasakan emosi negatif dan 70 persen siswa SMA yang merasakan emosi negatif," ungkap Muhammad Nur Rizal, Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), seperti dikutip Kompas.com, belum lama ini.
Emosi negatif lahir dari rasa bosan, sedih, kurang memahami materi, stres, bingung, merasa kurang bersemangat, merasa terbebani, kurang puas, hingga merasa kesulitan dalam belajar. Bahkan semakin tinggi jenjang pendidikan, jenjang antara emosi positif dan negatif kian lebar.
Sebab utamanya, proses dan strategi belajar mengacu kurikulum ternyata tidak tepat atau tidak sesuai perkembangan mental peserta didik. Saat jurang emosi negatif semakin melebar di jenjang pendidikan lebih tinggi. Kian terlihat jelas tugas selama ini disampaikan guru tak bisa meningkatkan kompetensi belajar peserta didik.
Sebaliknya, kata Nur, berakibat penurunan kecerdasan, dalam jangka panjang berdampak ke learning loss. Indikasinya, peserta didik naik kelas tapi tidak belajar! "Justru tugas-tugas itu menjadi beban. Juga ada kesulitan belajar dirasakan anak SD hingga SMA. Artinya mereka merasa tidak produktif atau berkurang motivasi selama proses belajar," jelas Nur sembari menyebut, akhirnya gawai menjadi pelarian mereka.
Terpisah, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, sepakat pandemi menjadi masalah serius bagi anak-anak. Selain masalah kesehatan, juga psikologis. Kini, praktis 20 dari 24 jam aktivitas dihabiskan di rumah atau sekitar rumah. "Akibat tidak ada ruang-ruang berhenti untuk anak mengakses gadget tentu berdampak negatif terhadap anak, terlebih terhadap perkembangan mental dan kejiwaan anak. Ini yang saat ini terjadi," kata Arist.
Pada titik itu, kata Arist, ada bahaya tengah mengancam anak-anak. Namun, di mata Arist, kondisi itu bukannya tak ada solusi. Kuncinya ada pembaruan dala, belajar. Sosiolog UGM sepakat. "Jadi membuat kegiatan-kegiatan untuk tidak berdampak kejenuhan," kata Suyoto Usman.
(*)