COVID-19: Setahun Pandemi Bikin Pemda (Kepri) Ketakutan Kelola APBD?
angkaberita.id - Upaya pemerintah mempercepat pemulihan ekonomi nasional sekaligus penanggulangan pandemi COVID-19, terutama di daerah, seperti kerja menegakkan benang basah. Terbukti, realisasi belanja APBD di daerah masih rendah sehingga menghambat niat pemulihan ekonomi pemerintah.
Menkeu Sri Mulyani mengelugkan kondisi itu. Tahun ini, APBD di Tanah Air harusnya membelanjakan duit Rp 1.148 truliun, namun realisasinya hingga Mei 2021, baru sebesar Rp 231,32 triliun, alias hanya 20,1 persen APBD. Realisasi itu, lanjut Menkeu, bahkan jauh dibanding periode sama setahun lalu.
Yakni, belanja APBD seharusnya Rp 1.005 triliun, tapi baru terealisasi Rp 291 triliun, atau 24,9 persen alias hampir seperempat dana belanja daerah. "APBD mengalami kendala besar, dan harusnya kontribusi dan pemulihan ekonomi nasional bisa berharap segera diakselerasi," kata Menkeu, seperti dilansir CNBC Indonesia, Senin (21/6/2021).
Padahal, serapan APBD menentukan bagi pemulihan ekonomi dan kelancaran penanganan COVID-19. Hingga Mei, Menkeu mengungkapkan, realisasi pendapatan APBD sebesar Rp 291,72 triliun, atau 27 persen dari APBD. Lebih rendah dari realisasi periode sama setahun lalu, sebesar 32,5 persen APBD 2020.
Akibatnya, dari sisi SILPA, bulan Mei turun realiasi dibanding April 2021. Di Mei, SILPA APBD sebesar Rp 175 triliun, dan April sebesar Rp 194 triliiun. Secara rata-rata, Menkeu menjelaskan, serapan belanja agregat se-Provinsi hingga Mei sebesar 20,15 persen. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan serapan tertinggi, sebanyak 24,59 persen. NTT paling rendah, hanya 12,56 persen.
Belanja Mubazir
Menkeu Sri juga menyoroti masih mubazirnya cara Pemda mengelola APBD. Indikasinya, mekipun banyak belanja namun tidak ada manfaatnya bagi daerah bersangkutan.
"Nah untuk desentralisasi fiskal dan terus perlu fokus perbaikan. Nanyak daerah belanjakan, namun outcome tidak memberikan hasil positif. Masalah kompetensi dan kinerja dalam APBD-nya," keluh Sri. Begitu juga dengan Transfer ke Daerah dan Dana Desar (TKDD) masih dominan belanja-belanja birokrasi seperti belanja pegawai dan belanja barang.
"Jumlah progam banyak dan program kecil, tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat," tuding Menkeu. Realisasi belanja cenderung lambat mengakibatkan dana APBD tertahan lama di perbankan. Padahal itu berisiko melahirkan moral hazard.
Daerah, kata Menkeu, perlu meningkatkan kemampuan belanja modal terutama infrastruktur, dan bukan sekadar pendaan gedung-gedung perkantoran. Sehingga, harapan Menkeu, setiap rupiah dibelanjakakan lewat APBN dan APBD dapat memberikan manfaat ke warga.
Bagaimana dengan Kepri? Kondisinya setali tiga uang, Sekdaprov Arif Fadillah berkilah Pemprov telah mendorong OPD mengoptimalkan anggaran tersedia. Arif menampik spekulasi lambatnya serapan APBD akibat duitnya sengaja dibungakan di bank sebagai penambah PAD.
Pada triwulan I 2021, serapan APBD Kepri juga rendah. Saat itu, Arif berkelit akibat penerapan SIPD dalam pengelolaan anggaran. Tak heran, ekonomi Kepri di triwulan I 2021 bergerak tertolong tingginya serapan dana APBN lewat instansi vertikal di Kepri. Terkesan pandemi setahun terakhir membuat Pemda ketakutan mengelola APBD, termasuk di Bumi Segantang Lada. Benarkah?
(*)