angkaberita.id

(Bukan Kepri) Guru PPPK Sepi Peminat, Kenapa Pemda Justru Hobi Rekrut CPNS Guru?

kelangkaan guru di daerah terpencil atau terluar di tanah air bukan semata persoalan kesejahteraan, namun juga ketidakberdayaan pemda menghentikan eksodus guru pns berpindah tugas ke daerah lain, khususnya perkotaan. sehingga guru honorer menjadi opsi, meskipun banyak pemda enggan merekrut mereka menjadi tenaga guru pppk dengan dalih takut jebol apbd-nya. kenapa? /foto via makassar.tribunnews.com

(Bukan Kepri) Guru PPPK Sepi Peminat, Kenapa Pemda Justru Hobi Rekrut CPNS Guru?

angkaberita.id – Rekrutmen sejuta tenaga guru PPPK dikbarkan sepi peminat. Bahkan, sejumlah Pemda ogah membuka penerimaan. Justru sibuk membuka penerimaan CPNS guru, meskipun tahu pemerintah pusat bakal mengalihkan menjadi formasi guru PPPK. Kenapa?

Padahal, seperti dilansir JPNN, selain mengangkat sejuta guru honorer menjadi guru PPPK, pemerintah juga menyediakan anggaran penggajiannya di APBN. Tugas Pemda, termasik di Kepri, hanya mengajukan usulan formasi guru PPPK. Realisasinya? Zainudin Maliki, anggota Komisi X DPR RI mengungkapkan, Pemda lebih tertarik mengajukan usulan formasi guru CPNS.

Sehingga pendaftar guru PPPK, kata Maliki, lantaran pemerintah pusat terkesan melempar ke daerah yang enggan memanfaatkan kuota. Disinyalir, lanjut Maliki, sejumlah Pemda juga tidak yakin semua beban gaji dan tunjangan dipenuhi pemerintah pusat. Jika itu terjadi, APBD bakal dipakai menambal.

Maliki mengkritisi kebijakan sejuta guru PPPK. Katanya, sebagai kebijakan terdengar ideal, namun pelaksanaannya tak semudah membalikkan telapak tangan. “Memang bagus dengarnya. Karena baru pertama dalam sejarah ada rekrutmen satu juta guru PPPK. Angka yang sangat besar,” sentil politisi PAN itu.

Dia mendorong, jika pemerintah ingin menuntaskan masalah guru honorer, realisasikan perintah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, satu di antanya kewajiban negara menyediakan anggaran 20 persen APBN buat pendidikan.

Pengalaman 2019

Sinyalemen Maliki bukan isapan jempol. Kritikan mantan Rektor Universitas Muhamadiyah Surabaya, itu juga terkonfirmasi dengan kondisi tahun 2019. Saat itu, Muhadjir Effendy menjabat Mendikbud. Kader Muhamadiyah itu heran dengan sejumlah Pemda enggan membuka rekrutmen PPPK tahap I pada Februari 2019.

Dari 317 Pemda, kata Muhadjir, sebagian besar tidam membuka rekrutmen. Itu sebabnya, dari 75 ribu formasi tersedia, banyak tak terisi. Selain pelamar tak banyak, jumlah guru honorer K2 gagal seleksi juga tak sedikit. Dari 90 ribu guru honorer K2, hanya 34 ribu lulus PPPK. Padahal setiap tahun, Pemda selalu mengeluh kekurangan tenaga guru.

Selain menambal kekurangan itu, kebijakan PPPK juga mengakomodasi guru honorer berusia di atas 35 tahun. Karena pengabdian guru honorernya lama, pemerintah menganjurkan ikut PPPK. Hanya saja, Pemda angkat tangan berdalih tidak memiliki dana.

“Alasan tidak ada dana ini yang bikin saya heran. Tiap tahun DAU meningkat, ada guru yang pensiun. Giliran disuruh buka rekrutmen PPPK bilang kekurangan fiskal. Kok ya enggak ketemu alasan kekurangan fiskal,” ungkap Muhadjir.

Terpisah, Kepala BKN blak-blakan kenapa kebijakan guru honorer menghantui banyak Pemda, terutama di daerah terpencil dan terluar. Karena, menurut Bima Haria Wibisana, banyak guru PNS enggan berdinas hingga pensiun di daerah itu.

Akibatnya, sekolah terpaksa merekrut guru honorer mengisi kekosongan itu. Anehnya, ketika rekrutmen CPNS, Pemda bersangkutan justru mengusulkan kebutuhan guru PNS. Padahal, setelah empat hingga lima tahun berdinas biasanya mereka akan mengajukan pindah tugas.

“Terus terang saja saya suka kaget ketika melihat usulan Pemda soal kebutuhan guru PNS ini. Kemudian saya lihat asal para guru yang mendaftar CPNS di daerah perdesaan ternyata banyak tinggal di kota. Surprise banget, hebat mereka mau mengabdi di wilayah terpencil,” kata Bima Haria Wibisana, Kepala BKN.

Sepengetahuan dirinya, guru PNS mengajukan pindah ke kota dari perdesaan jumlahnya ribuan. “Mereka tinggalkan sekolah itu dan hanya diisi oleh guru honorer. Tugas-tugasnya dialihkan kepada guru honorer. Sistem ini terjadi bertahun-tahun dan ini sangat tidak adil,” tegas Bima.

(*)

Bagikan
Exit mobile version