COVID-19: Kasus Kematian (Termasuk Di Kepri), Murni Genetik Atau Perilaku?
angkaberita.id – Kendati mengalami kontraksi akibat pandemi COVID-19, seperti negara lainnya di dunia, perekonomian di tanah air tak seprah negara lainnya. Selain nyaris terhentinya roada ekonomi, tingginya angka kematian COVID-19 memicu besar kecilnya kontraksi.
“Semakin tinggi kematian, kontraksi ekonomi akan semakin dalam,” ungkap Menkeu, Sri Mulyani, seperti dilansir Katadata. Dengan kenyataan itu, dua pekerjaan rumah terberat pemerintahan Jokowi sekarang. Menekan laju angka kematian, dan menahan jebolnya perekonomian nasional.
Kabar baiknya, meskipun belum pulih, perkonomian di tanah air tetap berdenyut. Untuk sebagian, harus diakui, berkat pengorbanan kalangan masyarakat menengah ke bawah. Kenapa? Desakan kebutuhan hidup menjadikan mereka tetap bekerja di sektor informal, di luar sektor manufaktur dan ritel.
Kedua sektor itu, seperti diakui Chatib Basri, paling terpukul akibat pandemi COVID-19. Padahal, keduanya termasuk sektor penopang perekonomian di tanah air. Di Kepri, sekadar gambaran, pada tahun 2018 sektor manufaktur bahkan menjadi satu di antara tiga nyawa perekonomian berdasarkan PDRB. Dua sektor lainnya, yakni pertambangan dan konstruksi.
Sektor manufaktur dan ritel terpukul, dalam analisis mantan Menkeu di era Presiden SBY, itu akibat lesunya permintaan global. Imbasnya, banyak perusahaan hanya berupaya bertahan hidup termasuk dengan mem-PHK pekerjanya. Praktis, permintaan ke sektor ritel juga menurun karenan hilangnya daya beli.
Sedangkan mereka yang berduit, seperti kalangan menengah ke atas, memilih membatasi mobilitas dan belanjanya. Praktis, perekonomian di masa pandemi digerakkan pemerintah melalui APBN dan APBD, khususnya belanja pemerintah seiring rendahnya konsumsi masyarakat selama pandemi.
Padahal, pertumbuhan ekonomi digerakan, satu di antaranya, konsumsi masyarakat. Bagi kalangan menengah ke atas, alasan mereka menahan mobilitas dan belanja karena tingginya angka kematian COVID-19 di tanah air. Mereka hanya belanja barang pokok saja. Sehingga sektor ritel kehilangan permintaan. Gantinya, kelas menengah sibuk menabung di bank berjaga kondisi tak terduga.
Chatib menjelaskan, berdasarkan survei kantor Chief Economist Bank Mandiri terungkap, masyarakat cenderung tinggal di rumah ketika kasus kematian COVID-19 meningkat. “Menariknya, hanya kurang dari lima hari. Di hari ketiga, mereka sudah keluar lagi,” kata Chatib, dalam Mandiri Webinar Series, seperti dikutip Katadata.
Dia menjelaskan, keputusan tinggal atau bepergian di tanah air, ternyata dipengaruhi kelas ekonomi masyarakat. Kelas menengah ke bawah, tidak memiliki tabungan, terpaksa keluar demi bertahan hidup. Kondisi itu, untuk sebagian, memicu kebijakan PSBB tak berjalan efektif.
“Mereka hanya akan tinggal di rumah kalau diberi cash transfer (BLT),” kata Chatib. Tak heran, indeks keyakinan konsumen kelompok masyarakat menengah ke bawah masih di bawah 100 alias pesismistis.
Namun indeks keyakinan konsumen mereka lebih tinggi dibanding kalangan menengah atas. Mereka nyaris berkubang di rumah, dan mengandalkan aktivitas online. Kecuali kebutuhan pokok, mereka praktis belanja secara online. Saat mereka sibuk belanja online, warga tak seberuntung mereka dihantui kasus kekerasan rumah tangga akibat hilangnya pendapatan.
Perilaku Atau Genetik?
Tingginya angka kematian COVID-19 di tanah air, untuk sebagian, memantik perdebatan. Apalah soal perilaku atau genetik masyarakat? Dalam sembilan terakhir, sedikitnya 17.000 orang meninggal akibat COVID-19, sekaligus tertinggi di Asia Tenggara.
Jika merujuk riset terbaru Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat, dengan data dari 91 negara termasuk Indonesia, kasus total kematian per 30 Oktober diperkirakan 1,4 kali lebih banyak dari laporan resmi.
Menurt Irwandy, Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, seperti dikutip Katadata, setidaknya ada empat faktor sebagai pembedah kondisi itu. Secara teori, kata Irwandy, tingginya kejadian penyakit dan kematian, termasuk di saat pandmei, tidak hanya karena virus corona saja.
Sistem pelayanan kesehatan, lingkungan, perilaku dan genetik dapat menjadi kacamata penilainya. Soal perilaku, riset terbaru Kementerian Kesehatan, sebanyak 42 persen masyarakat mencuci tangan dengan benar, kemudian 54 persen selalu menjaga jarak di tempat umum.
Padahal, protokol kesehatan itu, berdasarkan studi di 190 negara kurun 23 Januari-13 April 2020, dapat menekan angka penularan. Jadi? Riset menunjukkan kelelahan akan kepatuhan meningkatkan kasus sebesar 61 persen hingga Oktober 2020. Proyeksi riset, dengan intervensu masker dan jaga jarak, dapat menekan kasus hingga 18 persen hingga Maret 2021.
Karena itu, pemerintah mengkampanyekan pemakaian masker. Bagaimana dengan faktor genetik? Kata Irwandy, hingga 1 Desember, kematian COVID-19 tertinggi di tanah pada kelompok usia di atas 60 tahun, sektira 37,2 persen.
Penyakit penyerta menyebabkan risiko kematian kian tinggi. Hingga 1 Desember 2020, lima besar penyakit penyerat pada kematian COVID-19 ialah hipertensi (11,7 %), diabetes melitus (10,3 %), penyakit jantung (6,8 %), penyakit ginjal (3 %) dan penyakit paru kronis (2,3 %). Mengutip artikel di Nature, jurnal terkemuka, ditemukan negara dengan kasus kardiovaskuler, kanker, dan penyakit pernafasan kronik tinggi, angka kematian lebih tinggi.
Bagaimana di Kepri? Kendati kasus meningkat setiap harinya, namun angka kematian tidak setinggi derah lainnya di Pulau Jawa. Empat daerah masih menjadi episentrum di Kepri. Selain dengan prrotokol kesehatan, termasuk kampanye #IngatPesan Ibu, Pemprov berusaha menekan laju kasus COVID-19 dengan pemakaian masker, termasuk menerapkan denda.
Kemudian memastikan setiap kabupaten/kota harus memiliki mesin PCR Swab Test di rumah sakit, demi percepatan pemeriksaan hasil pengambilan sampel sekaligus percepat upaya tracing kontak dekat pasien COVID-19 (close contact). Bachtiar, Pjs Gubernur Kepri, bahkan akan “mengevaluasi” APBD kabupaten/kota tidak menganggarkan pengadaan mesin Swab Test. Hasilnya?
(*)