angkaberita.id

Bukan COVID-19, Kenapa Jepang Paling Khawatir ‘Wabah’ Bunuh Diri?

kematian akibat bunuh diri di jepang jauh lebih tinggi dibanding kematian akibat covid-19/foto kompas.com

Bukan COVID-19, Kenapa Jepang Paling Khawatir ‘Wabah’ Bunuh Diri?

angkaberita.id – Selain pandemi COVID-19, Jepang juga mengalami wabah laten. Yakni, kasus bunuh diri. Bahkan, kasus kematian akibat bunuh diri di bulan Oktober kemarin, jauh lebih banyak dibanding kasus kematian akibat COVID-19 di sepanjang tahun 2020.

Kasus terbanyak terjadi di kaum perempuan dan anak-anak sekolah. Kenapa? CNN dalam laporannya menulis, meskipun pelik tali temali pemicu di balik fenomena itu. Namun, lama waktu jam kerja, tekanan sekolah, dan stigma budaya dan isolasi sosial pada kasus-kasus kesehatan mental merupakan sebagian dari banyak faktor penyebab kasus itu.

Tekanan ekonomi akibat pandemi COVID-19, kendati ada namun bukan pemicu utamanya. Berbeda dengan negara lain, Jepang tidak menerapkan kebijakan lockdown secara ketat. Sehingga kasus-kasus depresi akibat hilangnya pendapatan sebagai pemicu kasus bunuh diri, tidak signifikan.

Meski demikian, dalam jangka waktu lama, kondisi itu memberikan tekanan sosial. Bagi mereka tidak terbiasa dengan tekanan, itu menjadi beban mental. Eriko Kobayashi (43) semisal, mengaku telah beberapa kali mencoba bunuh diri. Bekerja di LSM, membuatnya tidak serta identik kecenderungan bertindak dengan akal sehat.

“Gaji saya dipotong, saya seperti berjalan di lorong gelap tak berujung. Saya merasa bakal jatuh miskin,” tutur Kobayashi. Tekanan mental itu, menurut pakar kesehatan, perlu diwaspadai. Jika tidak dapat menjadi krisis kesehatan mental. PHK massal, isolasi sosial dan kebimbangan akibat perubahan kondisi ekonomi memang menyerang kestabilan mental.

Berdasarkan statistik, sepanjang Oktober kemarin, kasus kematian akibat bunuh diri jauh di atas kematian akibat COVID-19 sepanjang tahun. Tercatat 2.153 kasus di bulan itu, berdasarkan data Kepolisian Nasional Jepang. Sedangkan kasus kematian COVID-19, hingga pekan lalu sebanyak 2.087 jiwa.

Kementerian Kesehatan Jepang mengonfirmasi, kasus itu sejak COVID-19 resmi mewabah di Negeri Matahari Terbit hampir setahun terakhir. Berbeda dengan negara maju lainnya, Jepang merupakan satu-satung negara paling rajin merilis data kasus bunuh diri. Data terakhir kasus bunuh diri di Amerika Serikat semisal, terbaru rilis terakhir tahun 2018.

Beranjak dari kasus bunuh diri di Jepang, dapat menjadi gambaran bagi negara lain betapa dahsyatnya tekanan kesehatan mental terhadap kasus-kasus bunuh diri, terutama di masa pandemi, sekaligus memetakan demografi paling rentan dengan kondisi itu dan kecenderungan itu.

“Kami bahkan tidak menerapkan lockdown, dampak COVID-19 juga lebih rendah dibanding negara lain. Namun kami justru melihat kecenderungan meningkatnya kasus bunuh diri,” ungkap Michiko Udeda, Guru Besar di Universitas Waseda, Tokyo, sekaligus pakar soal bunuh diri.

Sejak lama, Jepang berjuang menanggulangi tingginya angka bunuh diri. Berdasarkan data WHO, Jepang termasuk negara paling banyak kasus bunuh diri di dunia. Tahun 2016, angka kematian akibat bunuh diri 18.5 per 100.000 jiwa, hanya kalah dari Korea Selatan di antara negara-negara di kawasan Pasifik barat.

Secara global, angka kematian bunuh diri tercatat 10.6 per 100.000 jiwa. Meskipun selama 10 tahun terakhir hingga 2019, kasus kematian serupa di Jepang terbilang menurun, hanya 20.000 kasus tahun lalu, terendah dalam catatan Kementerian Kesehatan Jepang sejak tahun 1978.

Namun pandemi COVID-19 mengubah tren penurunan itu. Sebagian besar kasus terjadi di kaum perempuan, kendati lebih kecil jumlahnya dibanding kasus pada laki-laki, tapi kecenderungan bunuh diri meningkat di kaum perempuan. Data Oktober lalu, kasus di perempuan meningkat hampir 83 persen dibanding periode sama tahun 2019.

Sebagai bandingan, kasus serupa di kaum laki-laki hanya meningkat 22 persen periode Oktober 2020 dibanding Oktober 2019. Terdapat sejumlah alasan potensial di balik tren itu. Satu di antaranya, sebagian pekerja paruh waktu di Jepang, sehingga gaji berdasarkan waktu bekerja, ialah kaum perempuan. Khususnya di hotel, restoran dan industri ritel. Ketiganya paling rentan PHK selama pandemi COVID-19.

Dengan kondisi itu, tekanan sosial terhadap kaum perempuan lebih tinggi dibanding kaum laki-laki. Apalagi di Jepang, budaya patriarkhi masih kental dan lekat, sehingga tekanan terhadap ketidakstabilan ekonomi memicu tekanan mental ke mereka.

Kalaupun mereka tetap bekerja, sehingga mendapatkan penghasilan penuh waktu, dengan kondisi pandemi memaksa anak-anak sekolah dari rumah. Konsekuensinya, beban mereka bertambah. Bekerja juga mengurus anak sekolah di rumah. Selain kaum perempuan, kasus bunuh diri tinggi juga terjadi di anak-anak sekolah.

Riset Statista mengungkapkan, sejak hampir 10 tahun terakhir kasusnya terus meningkat. Per 2019, angkanya mencapai 317 anak sekolah. Bandingkan, tahun 2010 sebanyak 156 kasus. Bahkan, tahun 2018 kasusnya menembus 332 kejadian.

(*)

Bagikan
Exit mobile version