Jika Trump Berhalangan Tetap Akibat COVID-19, Begini Skenario Pilpres Amerika Serikat!
angkaberita.id- Pilkada di tanah air bersamaan dengan Pilpres di Amerika Serikat. Kondisinya juga tak jauh berbeda, dengan pandemi COVID-19 masih mengharu biru. Bahkan, dalam sejumlah kasus, pandemi COVID-19 mengubah jalannya Pilkada.
Terbaru, Presiden Donald Trump dinyatakan positif COVID-19. Lalu bagaimana nasibnya jika kemudian dia berhalangan tetap akibat COVID-19 itu? Di tanah air, jika calon kepada daerah berhalangan tetap, semisal meninggal sebelum pencoblosan Pilkada, parpol pengusung dan pendukung berkewajiban mengajukan penggatinya maksimal 7 hari setelah berhalangan tetap.
Parpol pengusung dan pendukung, merujuk PKPU 3/2017, juga tak dapat menarik dukungan pencalona paslon berhalangan tetap itu. Di Amerika Serikat, secara teori, skenarionya juga sama. Kendati pendampingnya berpeluang besar, namun keputusan akhir siapa calon presiden di mesin pemungutan suara berada di tangan parpol.
Dalam kasus Donald Trump, tentu saka Partai Republik. Nirmal Ghosh, Kepala Biro Harian Straits Times di Amerika Serikat menulis, berbeda dengan Partai Republik, mekanisme Partai Demokrat menghadapi kondisi itu lebih jelas dan tegas. Pimpinan parpol bersama gubernur negara bagian dari Partai Demokrat berhak dan berkewajiban mengajukan penggantinya.
Demokrat mengusung Joe Biden dan Kemala Harris. Semisal Biden berhalangan tetap, tidak otomatis Harris menggantikannya. Kendati ketentuan serupa juga berlaku di Partai Republik, namun prosesnya penggantian di Demokrat lebih pendek dibanding kubu Republik.
Mengutip pendapatan Dr Richard H. Pildes, guru besar Hukum Konstitusi Di New York University, Nirmal menulis, pengurus pusat Partai Republik, memiliki 168 anggota, masing-masing 3 perwakilan dan setiap negara bagian ditambah tiga perwakilan dari 6 wilayah persatuan Amerika Serikat.
Kemudian pemungutan suara di masing-masing negara bagian tadi. “Tergantung kondisinya, namun memang tidak sederhana,” kata Pildes. Karena menurutnya, masing-masing negara bagian memiliki tenggat pemungutan suara berbeda. Persoalan bertambah pelik karena kini sejumlah pemilih, di sebagian negara bagian, telah menggunakan hak suaranya melalui kartu pos.
Penghitungannya menunggu setelah pemungutan suara pada 3 November mendatang. Prof Prof Rick Hasen, Guru Besar Ilmu Politik dan Hukum di Universitas California di Irvine, menyebut tidak mungkin memulai prosesnya dari awal jika terjadi kondisi itu, semisal Trump berhalangan tetap.
Kalaupun terjadi, menurutnya, Konggres harus menerbitkan payung hukum perundangan menunda Pilpres mengakomodasi penggantian Capres tadi. “Meloloskan UU penundaan Pilpres juga tidak mudah di Konggres,” sebut Hasen. Namun kondisi itu terbilang tidak berpotensi memicu krisis konstitusi. Konggres di Amerika Serikat, seperti MPR di sini, terdiri Senat dan DPR.
Senat merupakan representasi negara bagidan dalam sistem federali di Negeri Paman Sam. Tidak peduli negara bagian besar atau kecil, jumlah penduduknya banyak atau sedikit, masing-masing berhak mengirimkan dua wakilnya ke Senat. Sehingga total terdapat 100 anggota senat, alias Senator dari 50 negara bagian. Sedangkan DPR merupakan wakil rakyat hasil pemilu setiap dua tahunan.
Jika Senat, karena masa jabatan selama 6 tahun, maka setiap dua tahun sekali sepertuga anggota mereka harus menghadapi pemilihan ulang (midterm election). Pemilu di Amerika Serikat sendiri berlangsung empat tahun sekali. Sedangkan anggota DPR di sana, masa baktinya hanya dua tahun sekali dan dapat dipilih seterusnya.
Krisis konstitusi?
Dalam kasus Trump, lalu bagiaman jika kemudian Wapres Mike Pence juga terjangkit COVID-19, atau bahkan keduanya akhirnya dinyatakan berhalangan tetap? Kondisinya lebih pelik, bahkan berpotensi terjadi kirisi konstitusi. The Atlantic menulis, konstitusi tidak menyediakan mekanisme khusus menjawab kondisi itu.
Kalaupun akhirnya terjadi, konstitusi hanya menyediakan mekanisme penjabat Presiden demi menghindari kekosongan kekuasaan. Secara konstitusi, setelah Presiden dan Wapres, urutan suksesi kekuasaan (line of succession) di Amerika Serikat, berturut-turut, Ketua DPRD, Ketua Senat dan seterusnya.
Persoalannya, jika Ketua DPR masih sekubu bukan persoalan. Pengalihan kekuasaan akan berjalan mulus. Namun dengan kondisi Amerika Serikat 12 tahun terakhir, pemilih Amerika Serikat cenderung memaksimalkan fungsi check and balances, terutama saat pemilihan sela (midterm election). Jika Republikan di eksekutif, pemilih mempercayakan Konggres ke kubu Demokrat.
Dalam kasus Trump, Nancy Pelocy Ketua DPR sekaligus pentolan Demokrat akan mengambil alih kekuasan dari kubu Republik, meskipun Ketua Senat (Pro Tempore) Senator Mitch McConnel sekubu dengan Trump, dari Partai Republik. Kubu Republik tentu tak begitu saja merelakan kekuasannya berpindah tangan tanpa proses pemilu.
Sekadar informasi, Wapres di Amerika Serikat berstatus Presiden Senat dan akan menjadi penentu terakhir (tie break) jika pemungutan suara di Senat terbagi sama kuat, 50-50 sesuai dengan jumlah kursi Senat di Negeri Paman Sam. (*)