COVID-19 Sukses Mengajak Orang Mendadak Gemar Menabung, Kenapa?
angkaberita.id- Berbagai cara ditempuh pemerintah demi menangkal ancaman resesi ekonomi, termasuk dengan menggelontorkan sejumlah bantuan ke warga. Bahkan, pemerintah secara khusus juga berharap ke ASN sebagai andalan terakhir menjaga daya beli lewat konsumsi masyarakat agar perekonomian tertap berdenyut, seiring tumbangnya sektor swasta.
Namun harapan pemerintah agaknya jauh panggang dari api. Bukannya konsumsi masyarakat tumbuh, tapi justru kian gemuk dana pihak ketiga (DPK) di perbankan. Pendeknya, ketimbang belanja demi roda ekonomi, warga memilih menabung berjaga-jaga dari kondisi tidak pasti akibat pandemi COVID-19.
Imbasnya, praktis resesi ekonomi menjadi keniscayaan setelah ekonomi tak tumbuh, konsumsi masyarakat juga tak kunjung mengalir. Sedangkan pemerintah telah habis-habisan mengeluarkan seluruh cadangan APBN, bahkan dengan berutang, demi menangkal pandemi tak kunjung terprediski kurva melandainya.
Laporan CNBC Indonesia, satu per satu sinyal ke resesi bermunculan. Terbaru, laporan Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2020, pertumbuhan kredit perbankan tercatat hanya 1,04 persen dibandikan periode sama tahun lalu sekaligus terendah sejak 2003.
“Fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan permintaan domestik yang belum kuat karena kinerja korporasi yang tertekan dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19,” tulis BI dalam keterangannya.
Ironisnya, lesunya permintaan kredit berbanding terbalik dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Tercatat, DPK tumbuh 11,64 persen dibanding periode sama tahun lalu. Data itu menegaskan, ekonomi di tanah air ibarat tak berputar. Rumah tangga dan dunia usaha memilih menyelamatkan diri masing-masing. Lebih baik menimbun duit ketimbang konsumsi atau investasi.
Per Agustus, tercatat 20,42 persen konsumen mengalokasikan pendapatan ke rekening bank, tertinggi sejak Desember 2018. Mereka berpikir, itu sebagai jaga-jaga jika terjadi PHK. Paradoksnya, jika duit masyarakat terkumpul di bank, tinggal sedikit duit berputar di sektor riil. Sehingga perekonomian tidak bergerak, ujungnya pengusaha akan tutup mata besar-besaran PHK.
Terkabul keinginan sebagian pemilik duit ditimbun ke bank tadi, namun di sisi lain bertumbangan pekerja lainnya akibat PHK. Jika kecenderungan itu terus terjadi, PDB akan terus terkontraksi, dan sudah pasti resesi datang, berikut imbasnya. Jika tak terkendali, depresi menunggu.
Sebagian kalangan menyebut, solusi kondisi itu ialah memprioritaskan penanganan pandemi COVID-19. Alasannya sederhana, mau jungkir balik pemerintah kalau virus corona masih begentayang akan sia-sia saja kebijakan selama ini. Produksi dan distribusi tetap terhambat akibat permintaan lesu karena orang takut beraktivitas di luar dan membelanjakan duitnya, terutama kelas menengah di tanah air.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa kelas menengah Indonesia, yang masih dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi yang tinggi, akan terus menahan diri untuk tidak membeli dan memilih untuk menabung. Selama kasus COVID-19 terus meningkat, maka 2020 bagi orang Indonesia akan tetap menjadi The Year of Spending Cautious,” kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.
Kendati bersifat jangka panjang, vaksin pada akhirnya dianggap sebagai satu-satunya cara masuk akal memprediksi akhir pandemi sekaligus menjadi dasar merancang dan merencanakan strategi mitigasi pagebluk selanjutnya. Sehingga perencanaan kebijakan tidak berpatokan pada ketidakpastian. Karena tidak mungkin membiarkan ekonomi mati suri dengan habis-habisan melawan pandemi tak kunjung berhenti.
(*)