Jelang Pilpres Amerika Serikat (1): Kenapa Orang Malu Ngaku Partai Republik?
angkaberita.id –Seperti di tanah air, berpindah partai politik di Amerika Serikat ikhwal biasa. Siapa saja boleh berganti afiliasi parpol, termasuk menjelang hajatan pemilihan umum. Secara umum, orang di sana afiliasi politiknya terbagi tiga saja. Yakni, Demokrat, Republikan atau Independen.
Donald Trump dan Michael Bloomberg, masing-masing, Presiden Amerika Serikat sekarang dan peserta konvensi Pilpres Partai Demokrat, telah beberapa kali berganti baju parpol. Sebelum menjadi Capres Republik, Trump sempat menjadi anggota Partai Demokrat, meskipun cinta pertamanya memang parpol berhaluan konservatif berlambang gajah.
Begitu juga Bloomberg, dikenal Demokrat tulen akhirnya berbaju Republik sewaktu maju pemilihan Walikota New York, dan menang selama dua periode. Setelah itu, dia sempat banting setir menjadi independen, sebelum akhirnya kembali ke cinta lamanya, Demokrat sejak 2018 sebelum akhirnya mengikuti konvensi parpol berhaluan liberal dengan logo keledai itu.
Kondisi serupa juga terjdi di akar rumput. Namun, sejak Trump menjabat Presiden Amerika Serikat, afiliasi politik orang di Negeri Paman Sam benar-benar terbelah dua kubu, Demokrat atau Republik. Belakangan kondisi berubah lagi, terutama saat pandemi COVID-19 mengharu biru negara bekas jajahan Inggris itu.
Terbaru, seperti dilansir Statista, hitungan bulan jelang Pilpres pada November mendatang, perubahan afiliasi parpol kian deras di akar rumput. Hasil survei terbaru, dalam beberapa bulan terakhir, orang Amerika Serikat sudah mulai menentukan haluan parpolnya. Tak terbelah lagi, namun cenderung merangkul Demokrat.
Berdasarkan survei Gallup, sebanyak 50 persen penduduk dewasa di Negeri Trump menyatakan dirinya Demokrat, atau setidaknya condong ke Demokrat per Juni 2020, sedangkan mengidentifikasi dirinya sebagai Republik atau cenderung Republik hanya 39 persen.
Dibanding kondisi awal tahun 2020, perubahan peta afiliasi politik itu benar-benar signifikan. Saat itu, 47 persen masih mengaku Republik, dan 45 persen sebagai Demokrat. Meski demikian, secara historis, survei Gallup pengikut Demokrat secara nasional memang cenderung lebih banyak dibanding Republik.
Persoalannya, selisih dua digit itu tak biasa, apalagi di tengah terbelahnya publik Amerika Serikat di masa Presiden Trump. Dengan empat bulan lagi Pilpres dan melejitnya suara polling Joe Biden, calon presiden Amerika Serikat dari kubu Demokrat, dengan selisih hingga dua digit dari Trump, menjadi indikasi pendulum politik di sana, agaknya berayun ke Demokrat.
(*)