Sat. Jul 27th, 2024

angkaberita.id

Situs Berita Generasi Bahagia

Antropologi COVID-19: Jangan Fokus Ketakutan, Pandemi Bukan Soal Kesehatan Semata

4 min read

pandemi covid-19 bukan semata krisis kesehatan, namun juga krisis sosial ekonomi. pendekatan berbasis manusia (antropologis) menjadi keharusan dalam strategi komunikasi publik menghadapi pandemi, terutama hidup dengan kebiasaan baru dan perubahan perilaku sosial/foto ilustrasi via medan.tribunnews.com

Antropologi COVID-19: Jangan Fokus Ketakutan, Pandemi Bukan Soal Kesehatan Semata

angkaberita.id – Gugus Tugas COVID-19 Pusat bakal melibatkan antropolog dalam menekan pandemi COVID-19 di tanah air. Sehingga masyarakat terbantu menjalani hidup dengan kebiasaan baru selama pandemi, melalui kearifan lokal dan pendekatan sosial kultural.

Hingga ditemukan vaksin penangkal, hidup dengan protokol kesehatan menjadi satu-satunya kunci hidup berdamai dengan virus corona. Namun tak mudah menerapkan kebiasaan memakai masker, jaga jarak dan selalu mencuci tangan dengan sabun dalam keseharian.

Selain melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat dan budayawan, Gugus Tugas COVID-19 Pusat juga melibatkan antropolog menemukan dan merumuskan strategi tepat mengubah perilaku keseharian dengan kebiasaan baru selama pandemi COVID-19.

Pelibatan mereka, terutama di daerah zona risiko tinggi, agar masyarakat dapat memahami bahaya virus corona dan bisa mencegah penularan. Berdasarkan data, kendati terjadi penurunan jumlah daerah zona merah di tanah air sebulan terakhir, namun penambahan kasus baru juga terus terjadi.

Biang penambahan kasus baru, satu di antaranya tiadanya kesadaran protokol kesehatan dalam keseharian. Kini pemerintahan memprioritaskan sumber dayanya menekan kasus di daerah zona merah, dengan melibatkan TNI-Polri dalam penerapan protokol kesehatan.

“Hanya dalam tiga minggu, daerah yang zona merah bisa berubah dari 108 menjadi 57 kabupaten/kota,” ungkap Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas usai rapat dengan Presiden Jokowo, Senin (29/6/2020). Doni menyebut, penurunan dibanding kondisi 1 Juni lalu.

Di 57 daerah zona merah, Doni menegaskan, pihaknya akan menambahkan personel TNI-Polri memastikan hidup dengan kebiasaan baru, yakni melakukan selalu protokol kesehatan, berjalan dan dipatuhi.

“Zonanisasi sangat tergantung dari tingkat kepedulian bersama, tidak cukup hanya gubernurnya atau bupati atau wali kotanya,” ucap Doni. Selain TNI-Polri, pemerintah juga akan mengirimkan tenaga medis dan peralatan medis tambahan ke daerah zona merah, terutama di Jawa.

Berdasarkan data, di Sumatera hanya terdapat dua provinsi termasuk dalam zona merah. Yakni, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Keduanya memang menjadi konsentrasi penduduk di Sumatera.

Di Kepri, berdasarkan data peta risiko pandemi (zonasi) per 21 Juni 2020, hanya Batam masih terjadi penambahan kasus baru. Sehingga masih termasuk daerah berisiko. Enam kabupaten dan kota lainnya terbilang daerah berisiko rendah dan tak terdampak. Secara nasional, terdapat lima provinsi masih menjadi episentrum COVID-19.

Yakni, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Selain di lima provinsi itu, sebanyak 57 daerah zona merah di tanah air, juga tersebar di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan di Pulau Sumatera. Kemudian Gorontalo, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara di Pulau Sulawesi.

Kemudian Provinsi Maluku Dan Provinsi Maluku Utara di Kepulauan Maluku. Provinsi Kalimantan Tengah dan Priovinsi Kalimantan Selatan di Pulau Kalimantan. Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat di Kepulauan Sunda Kecil serta Provinsi Banten di Pulau Jawa dan Provinsi Papua di Bumi Cendrawasih.

Pendekatan Empati

Antropolog Kesehatan Universitas Mahidol di Thailand, Profesor Rosalia Sciortino mengatakan, kajian perubahan perilaku penting dalam menghadapi pandemi. Katanya, perubahan perilaku tidak bisa diserahkan sebagai urusan indvidual semata.

“Makanya, kita butuh antropolog kesehatan untuk sosial,” kata Rosalia dalam diskusi daring bertajuk “Etnografi dan Pandemi: Covid-19 dalam Narasi Antropologi Kesehatan”, seperti dilansir Kompas.com. Menurutnya, harus ada konteks sosial dalam perubahan perilaku itu.

Apalagi ketika pemerintah atau pemangku kebijakan juga tak patuh terhadap anjuran atau kebijakan mereka sendiri. Selain itu, mengubah perilaku tak bisa hanya dengan edukasi dan pemberian pemahaman melalui petunjuk atau arahan saja.

Tapi, harus ada pemahaman jelas dan tegas. Juga diperlukan strategi alternatif, jika aturan protokol kesehatan itu, berada pada kondisi dilematis termasuk mengungkapkan betapa pentingnya mematuhi strategi alternatif itu. Kearifan lokal dan penerapan situasional menjadi jalan tengahnya.

Semisal, anjuran mencuci tangan juga harus mempertimbangkan wilayah sulit air. Kemudian anjuran beraktivitas di rumah saja, tentu ini akan menjadi kendala di daerah dengan akses internet terbatas. Begitu juga dengan jaga jarak, tentu menjadi tantangan sendiri bagi orang di kawasan permukiman padat.

Konteks itu diperlukan dan seharusnya menjadi dasar kebijakan dibarengi dengan strategi komunikasi mengena di hari mereka. Karena, bisa jadi konteks sosial seperti keberagaman sosial dan kelas sosial di antara mereka juga tak seluruhnya sama. Soal strategi komunikasi pandemi juga menjadi sorotan Rosalia.

Katanya, narasi menonjolkan ketakutan dan saling menyalahkan tidak produktif melawan pandemi belum berujung itu. “Apa gambaran yang kita mau promosikan (menghadapi pandemi), tapi yang paling banyak itu pakai ketakutan,” kritiknya.

Menurutnya, menyebarkan narasi ketakutan tak menyudahi persoalan. “Padahal, ketakutan tidak efektif dari segi pencegahan,” sebut Rosalia. Eksesnya, banyak orang akhirnya jadi takut melakukan sesuatu, termasuk pergi berobat ke rumah sakit padahal kondisinya sakit, meskipun bisa jadi bukan akibat COVID-19.

“Kalau orang sudah telanjur takut ke rumah sakit, padahal sakit. Maka, akan lambat diobati,” jelas Rosalia. Karena itu, menurutnya budaya saling menyebarkan ketakutan di tengah pandemi seharusnya dikendalikan setiap individu, pemerintah juga dapat mengontrol kondisi itu. (*)

Bagikan