angkaberita.id

Heboh Habibie Dan Tren Barter Di Musim Pandemi COVID-19

sistem ekonomi barter mewabah seiring pandemi covid-19/foto ilustrasi via google.com

Heboh Habibie Dan Tren Barter Di Musim Pandemi COVID-19

angkaberita.id– Pandemi COVID-19 benar-benar telah mengajarkan pentingnya menghargai pelajaran sejarah. Selain pandemi Spanish Flu seratus tahun lalu (1918-1920), COVID-19 juga mengajarkan kembali sistem ekonomi barter seperti di masa silam.

Sebelum perekonomian mengenal sistem mata uang sebagai alat tukar menukar, barter merupakan cara penduduk bumi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nelayan kawasan pesisir membawa ikan, dan menukarnya dengan hasil bumi penduduk pedalaman atau wilayah pegunungan.

Sistem itu berlangsung bergenerasi hingga kini. Namun aksentuasinya, kian kentara belakangan seiring pandemi COVID-19. Sebagian akibat terpuruknya kondisi perekonomian, sebagian lainnya akibat larangan beraktivitas di rumah.

Bagi warga berduit, dengan bantuan media sosial, mereka bisa barter dengan mengunggah status di akun sosialnya. Seperti di Malaysia, seorang warga ingin menikmati menu kepiting, tak berapa lama datang kiriman dari pengguna medsos lain.

Kondisi serupa juga terjadi di negara kepulauan di Pasifik. Lewat facebook, mereka memasarkan produk andalannya, persisnya aset pribadi miliknya demi produk atau benda kebutuhan lainnya.

Seperti ditulis The Guardian, barter bertumbuh. Berjenis barang dipertukarkan lewat jejaring sosial. Mulai dua ekor anak babi dengan kayak, hingga kelas fotografi dengan selembar karpet ruang tamu.

Di Jawa Barat, pesisnya di Indramayu sekelompok warga tergabung dalam Serikat Nelayan Indonesia (SNI) mengadakan program Lumbung Pangan Nelayan. Mereka menukarkan hasil melautnya dengan hasil bumi Kelompok Tani Tenajar.

Jual beli bahan pangan itu menjadi siasat menghadapi kondisi pandemi. Dari masing-masing bahan pangan tadi, memiliki nilai berkesesuaian dan disepakati kedua belah pihak. Kendati bersifat bilateral, namun barter juga dapat melibatkan pihak lainnya, dalam skema multilateral.

Jika kini, pemicu barter akibat pandemi COVID-19, dua dekade silam pemicunya ialah krisis keuangan global (2008). Akibat ketiadaan uang tunai, banyak negara akhirnta, secara diam-diam, barter demi mendapatkan kebutuhan, terutama bahan pangan.

Laporan Financial Times menulis dengan jelas, barter dilakukan demi menyiasati ketiadaan akses ke sistem kredit saat bertransaksi melalui mekanisme perdagangan internasional resmi.

Negeri kita juga pernah heboh barter saat membeli beras ketan dari Thailand, dan membayarnya dengan pesawat terbang di masa BJ Habibie. Sontak, kabar itu menuai pro kontra meskipun sejatinya, barter lebih menguntungkan, karena meniadakan pihak ketiga, seperti broker.

Di kondisi normal, istilah barter biasanya identik dengan urusan politik (quid pro quo), dengan istilah di kalangan pengamat politik sebagai politik dagang sapi atau Backroom Deal dalam perspektif lobi politik.

Di Sumatera, dikenal tradisi jual beli sapi dengan kesepakatan harga hanya diketahui dua belah pihak, penjual dan pembeli dengan tawar menawar di balik sarung.

Sejarah barter, dari kata Baretor, jauh sebelum Adam Smith bapak kapitalis mengemukakan teori “tangan tak terlihat” sebagai mekanisme pasar dalam pengertian saat ini.

Secara sederhana, barter ialah transaksi tukar menukar antara dua pihak dengan barang berbeda, atau barang dengan jasa dan disepakati kedua pihak. (*)

Bagikan
Exit mobile version