angkaberita.id

Pandemi COVID-19, Fakta-fakta Dunia Di Balik Ruang ICU Dan Ventilator

seorang tenaga medis berada di ruang icu rumah sakit di jerman. dibanding tetangga eropa lainnya, jerman terbilang lebih baik rasio ruang icunya sehingga cukup berhasil menekan angka kematian covid-19 selain strategi rapid test massal/foto getty images/Ina Fassbender/Agence France-Presse — Getty Images via nytimes.com

Pandemi COVID-19, Fakta-fakta Dunia Di Balik Ruang ICU Dan Ventilator

angkaberita.id – Seiring melejitnya kasus infeksi COVID-19 di dunia, ventilator dan ruang ICU di rumah sakit menjadi kata-kata familiar. Ventilator merupakan alat bantu pernafasan, dan biasanya digunakan pada pasien COVID-19 kritis akibat kesulitan bernafas selama perawatan di ruang ICU, ruang perawatan intensif.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan, sekitar 80 persen pasien COVID-19 dapat sembuh tanpa penanganan khusus. Namun 1 dari 6 pasien mengalami sakit serius dan kesulitan bernafas. Itulah mengapa ICU kebanjiran pasien COVID, akibatnya ventilator menjadi terbatas dibanding jumlah pasien.

Pasien dengan riwayat penyakit bawaan paling rentan dalam kondisi itu. Di Inggris, bahkan selama musim COVID-19, lebih setengah jumlah pasien masuk ICU tak terselamatkan nyawanya. Itulah kenapa angka kematian COVID-19 di Negeri Ratu Elizabeth II terus merangkak naik, kendati belum setinggi Italia.

Berkaca pada Italia dan Spanyol, dengan mengesampingkan faktor lainnya seperti usia dan penyakit bawaan, tingginya angka kematian sebagian akibat jebolnya kapasitas sistem kesehatan akibat lonjakan kasus infeksi COVID-19. Nah, bertambahnya pasien, untuk sebagian, mengakibatkan lonjakan permintaan ventilator dan ruang ICU.

Di dunia, menyitir riset Statista seperti dilansir situs forbes.com, Amerika Serikat dan Jerman merupakan dua negara dengan rasio jumlah ruang ICU per 100.000 penduduk tertinggi, yakni masing-masing, 34,7 persen dan 29,2 persen. Sedangkan di tanah air, berdasarkan sebuah riset, rasionya 2,7 persen.

Khusus ventilator, Jerman dibanding tetangga Eropa lainnya, semisal Prancis dan Italia, terbilang banyak jumlah alat bantu pernafasannya itu, yakni sebanyak 25.000 unit, dan 10.000 unit lagi dalam pendistribusian. Prancis hanya memiliki 5.000 unit.

Demi menekan laju kurva pandemi COVID-19 di tanah air, berdasarkan simulasi sejumlah perguruan tinggi, selain menambah tempat tidur perawatan, pemerintah juga menggenjot produksi ventilator lokal.

Empat perguruan tinggi di tanah air, dengan mitra industri strategis masing-masing, telah membuat prototipe ventilator, sebagian dalam versi portabel dan kini tengah dalam proses sertifikasi perizinan pihak terkait sebelum diedarkan secara resmi dengan harga kisaran Rp 3-5 juta per unitnya.

Ventilator terbilang alat kesehatan mahal. Versi lengkap, di Amerika Serikat, harganya di kisaran 25.000-50.000 dolar, setara Rp 250 juta-Rp 500 juta dengan kurs per dolarnya Rp 10 ribu.

Bersama dengan masker, hari-hari ini menjadi barang paling diburu di dunia. Sejumlah negara bahkan mengerahkan dinas intelijennya berburu. Teranyar, Amerika Serikat menuai protes dari sekutunya, seperti Prancis dan Kanada, akibat “membajak” jatah kiriman mereka.

(*)

Bagikan
Exit mobile version