COVID-19 Di Kepri, Musim Menunggu Giliran PHK?
angkaberita.id – Lebih tiga dasawarsa lalu, kendati belum berstatus provinsi sendiri, nama Kepri sudah mulai mencuat ke panggung nasional lewat kiprah Batam.
Lewat Otorita Batam kini berganti nama BP Batam, pemerintahan Soeharto ingin menjadikan pulau berbentuk kalajengking itu pusat pertumbuhan baru di tanah air.
Kerja keras BJ Habibie, terakhir menjabat presiden ketiga negeri ini setelah Soeharto, menakhodai Batam mendekati kenyataan. Dengan berbagai insentif fiskal, dan terutama kebijakan upah buruh, Batam laris manis menjadi tujuan pemilik modal mendirikan usaha.
Tahun 1990-an, Batam benar-benar menjadi magnet ekonomi di tanah air. Ribuan pekerja dari sekujur negeri berbondong-bondong mengadu nasib ke tetangga Tanjungpinang dan Karimun itu. Pemda tetangga Batam pun dapat bernafas lega, kusut masai tekanan ekonomi akibat angka pengangguran mulai terurai.
Bisa disebut, dekade itu masa keemasan Batam. Optimisme melangit. Singapura bahkan dikabarkan mulai membuka matanya, puncaknya membuka konsulat jenderal di tahun 2009. Kondisi dunia berubah, perang dan konflik telah mengubah dinamika, termasuk perekonomian dunia.
Krisis demi krisis terjadi, pergantian kepemimpinan di dunia terus silih bergulir, termasuk di tanah air. Kondisi Batam, sejauh itu, masih baik-baik saja. Seiring bertambahnya penduduk dan perubahan sosial di tanah air, mulai terdengar tuntutan kehidupan lebih baik bernama otonomi daerah.
Zaman kemudian menjawab dengan terbitnya perundangan pemerintahan daerah. Perlahan namun pasti, keinginan serupa mulai menyemai di Batam, dan akhirnya Kepri dalam skala luas. Puncaknya, ekses keinginan itu berbuah dualisme kepemimpinan di Batam.
Hingga akhirnya, perekonomian memberikan alarm lampu kuning dengan jebloknya pertumbuhan ekonomi Kepri. Dari daerah dengan pertumbuhan tertinggi menjadi terendah di Sumatera, bahkan secara nasional. Imbasnya, lantaran tak ada lagi madu di dalamnya, investor hengkang, sebagian malah kabur tanpa melunasi hak-hak ke pekerjanya.
Dampaknya, tak sedikit warga Batam eksodus pulang kampung halaman. Di Batam, dan Kepri pada akhirnya PHK menjadi kata-kata paling menakutkan dibanding kata lainnya saat itu. Puncaknya, pandemi COVID-19 sejak akhir Desember 2019 silam, benar-benar menjadi ‘badai tornado’ di Kepri seiring melesatnya kasus infeksi di tanah air.
Dunia babak belur menghalau krisis kesehatan global setelah spanish flu seratus tahun silam, kondisi ekonomi ikut-ikutan kacau balau. Akhirnya, kondisi terkini seperti menunggu giliran PHK.
Kepri akhirnya terdampak, meskipun sejatinya tanda-tandanya sudah terlihat sejak jauh hari. Berdasarkan riset Katadata mengutip data BPS, nyawa perekonomian Kepri pada tahun 2018, mengandalkan tiga sektor utama. Yakni, manufaktur, konstruksi dan pertambangan. Ketiganya menyumbang hampir dua per tiga produk domestik regional bruto (PDRB) Kepri.
Sektor lain, bisa disebut, industri sekunder alias penopang seperti pariwisata, ritel, dan sebagainya, termasuk sektor jasa dan informal. Manufaktur artinya industri pabrikan padat karya dan itu identik dengan Batam. Pertambangan, Kepri identik dengan bauksit, granit, dan sebagian barang galian, dan sebagainya.
Secara umum, berdasarkan investasi terbesar, pertambangangan identik dengan Karimun dan Bintan. Konstruksi menggenapinya dengan pembiayaan pemerintah, dan sebagian swasta seperti industri properti di Batam, melalui APBN dan APBD. Berbeda dengan dua sektor lainnya, konstruksi atas nama anggaran pembangunan merata di sekujur Kepri.
Bersama dengan pariwisata, perikanan, usaha jasa dan sejumlah sektor lainnya, pemangku kepentingan berusaha membangkitkan lagi pertumbuhan perekonomian di Kepri, termasuk mengakhiri polemik dualisme Batam dengan mantra ‘ex officio’.
Mereka percaya, setidaknya pada premis statistik setiap satu persen pertumbuhan setara dengan 300 ribu lapangan kerja baru, sehingga akhirnya menjadikan pertumbuhan resep komunikasi politik saat hendak berlaga di Pilkada di sekujur Kepri, meski akhirnya kemungkinan besar ditunda.
Namun harapan itu terkubur sepenuhnya seiring pandemi COVID-19. Jangankan bertumbuh, sekadar mengapung saja begitu sulit. Secara nasional, terdapat lima sektor industri paling berisiko PHK akibat pandemi influenza itu. Yakni, tekstil, manufaktur, penerbangan, pariwisata, dan ritel. Kelimanya terkenal padat karya, meskipun penerbangan tak sebesar empat lainnya.
Belum lagi industri turunan dan penopangnya. Itu artinya jumlah pekerja tak sedikit. Kepri, secara umum, seiring melemahnya sektor manufaktur dan pertambangan, sektor andalan akhirnya beralih ke pariwisata. Namun terkuncinya arus kunjungan menjadikan tingkat hunian rendah, sehingga beban operasional melebihi kapasitas pendapatan.
Demi bertahan hidup, pilihannya merumahkan pekerja tanpa gaji atau me-PHK mereka. Itulah yang terjadi hari-hari belakangan di Kepri. Di Batam, seperti dilansir batampos.id, sedikitnya 12 ribu pekerja terdampak, sebagian kena PHK. Kondisi serupa juga terjadi di Tanjungpinang, ibukota provinsi.
Sektor pariwisata seperti perhotelan paling tinggi kibaran bendera putihnya. Ratusan pekerja dirumahkan, puluhan kena PHK. Setali tiga uang kondisinya di Bintan, tak sedikit pekerja kena PHK. Padahal inilah sektor andalan PAD Bintan setelah surutnya pamor industri di Lobam. Lalu dimana pemerintah daerah?
Pemda di Kepri bukannya tinggal diam. Kantong APBD juga telah mereka otak-atik demi menambal kebutuhan sosial selama musim pandemi. Cukupkah? Agaknya Pemda di Kepri memilih menunggu kebijakan pusat, dan meminjam judul lagu Chrisye, sembari berharap pandemi segera berlalu.
(*)