BUMDes di Kepri: Bintan Suntikkan Modal Terbesar, 4 Kabupaten Jualan Wisata (3-Habis)
angkaberita.id– Letak geografis Kepri sebagai provinsi kepulauan menyimpan mutiara terpendam, yakni potensi wisata. Tak heran, sejumlah BUMDes di Bintan menjadikan wisata jualan utama usahanya.
Bahkan, dibanding BUMDes di lima kabupaten lainnya, BUMDes Bintan paling serius dan terbanyak menggarap sektor pariwisata sebagai jualan utama. Bukan tanpa alasan pemilihan sektor usaha itu. Pemkab Bintan sendiri menjadikan sektor pariwisata sebagai penopang perekonomian daerah.
Dari tahun ke tahun kontribusinya ke pendapatan asli daerah (PAD) juga meningkat. Bupati Bintan Apri Sujadi mengklaim setiap tahunnya, sejak 2015 PAD Kabupaten Bintan terus meningkat. Sektor pariwisata menjadi jantung pemicunya.
Tahun 2015 sebesar Rp 176 miliar, meningkat di tahun 2016 menjadi Rp 184 miliar dan di tahun 2017 sebesar Rp 225 miliar serta Rp 240 miliar di tahun 2018. Kepala Dinas Pariwisata Kepri, Buralimar mengamini besarnya kontribusi sektor pariwisata.
Setidaknya berdasarkan data capaian di tahun 2018. Kurun Januari-November 2018, porsi pariwisata ke PAD Kabupaten Bintan sebesar Rp 139,95 miliar, dengan total PAD keseluruhan periode itu, sebesar Rp 206,62 miliar.
Berdasarkan asal, PAD sektor pariwsata Bintan berasal dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan denda pajak hotel, restauran dan hiburan. Sumber terakhir sektor pariwisata ialah pajak penerangan jalan non PLN.
Tak berlebihan jika akhirnya sektor pariwisata juga dijadikan tumpuan BUMDes di Bintan. Apalagi suntikan dana penyertaan ke BUMDes di Bintan tertinggi jumlahnya dibanding lima kabupaten lainnya di Kepri, selama kurun tiga tahun terakhir sejak 2016.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kependudukan dan Catatan Sipil Kepri, penyertaan modal ke BUMDes di Bintan mencapai Rp 5,03 miliar lebih. Jauh di atas empat kabupaten lainnya. Suntikan terbesar dilakukan tahun 2018 sebesar Rp 2,62 miliar.
Berkonsep Desa Wisata, sejumlah destinasi wisata di Bintan itu, dikelola BUMDes setempat. Keseluruhan berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kependudukan dan Catatan Sipil Kepri, terdapat 8 BUMDes di Bintan menggarap sektor pariwisata sekaligus menjadikannya terbanyak di Kepri.
Jika mengacu data per 2018, pendirian BUMDes di Kepri terbanyak terjadi di tahun 2016 sebanyak 73 unit, dengan pendirian terbanyak di Kabupaten Bintan, yakni 23 unit. Namun, jika dihitung sejak tahun 2011, jumlah pendirian terbanyak di Kabupaten Natuna, yakni 29 unit di tahun 2015.
Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kependudukan dan Catatan Sipil Kepri sendiri menggeber pendirian sejak 2015, setahun setelah pemberlakuan UU Desa. Justru tahun 2019, jumlah pendirian BUMDes terendah dibanding empat tahun sebelumnya, yakni hanya 19 unit saja.
Berdasarkan data, per Desember 2018 jumlah BUMDes di Kepri sebanyak 176 unit, setahun setelahnya menjadi 185. Terjadi penambahan 9 unit saja. BUMDes sebanyak 185 itu tersebar di lima kabupaten, dengan sebaran terbanyak di Kabupaten Natuna, yakni 50 unit. Di Kepri, total terdapat 275 desa. Artinya, ada 90 desa lainnya belum memiliki BUMDes.
Kabupaten Lingga menguntit Natuna dengan BUMDes sebanyak 40 unit. Karimun dan Bintan menyusul di urutan berikutnya, masing-masing, sebanyak 35 dan 34 unit. Kabupaten Anambas mengunci daftarnya, dengan BUMDes sebanyak 26 unit.
Berdasarkan persentase, BUMDes di Bintan paling aktif. Dari 34 BUMDes, 28 unit di antaranya masih aktif. Secara keseluruhan, dari 185 BUMDes di Kepri, 77 di antaranya tidak aktif alias mati suri. Dari jumlah sebanyak itu, persentase terbesar di Kabupaten Anambas, yakni 15 tidak aktif dari 26 unit BUMDes.
Sardison berdalih, kondisi di Anambas disebabkan berbagai hal, seperti manajemen belum kompak, modal kurang, juga SDM terbatas. “Bukan mati suri, tapi kurang aktif,” kelitnya. Sehingga harapan pemerintah menjadikan BUMDes instrumen pemberdayaan ekonomi masyarakat dan desa masih jauh api dari panggang.
Khusus soal itu, Sardison memiliki penjelasan sendiri. Katanya, BUMDes dibentuk dengan beberapa tujuan seperti menggali potensi ekonomi desa, mendorong kewirausahaan di desa, meningkatkan ekonomi masyarakat desa, dan paling akhir memberikan kontribusi bagi PAD Desa.
“Jadi sudah bergerak saja sudah bagus. Ada aktivitas ekonomi di desa. Ada keuntungan lebih baik, apalagi dapat membayar upah pengelola dari keuntungan, baru terakhir kontribusi bagi PAD desa,” jelas Sardison.
(*)