Pilkada Bintan 2020: Pilkada Lawan Kotak Kosong?
Robby Patria*
LUKISAN alam membatasi setiap gumpalan awan hitam pekat yang berbentuk garis lurus. Tanda hujan akan turun di tanah yang dulunya banyak mengandung bauksit.
Bekas PT Antam mengeruk kekayaan Bintan. Hingga sisa peninggalan itu dikeruk kesekian kalinya sampai 2019. Dua pejabat pun kena getahnya. Jadi tersangka.
Ada beberapa kecamatan yang ribuan warganya sedang mengalami masalah lahan mereka dijadikan hutan lindung. Menanti sang Arjuna tampil membela mati-matian membebaskan lahan itu. Hingga ke titik nadir.
Bahkan ada yayasan yang mau mendirikan universitas membawa nama kampus kelas dunia di Bintan. Bagaimana logikanya universitas peringkat 32 dunia mau buka cabang di negeri yang jauh dari China. Mereka bukan kekurangan mahasiswa.
Lebih satu miliar penduduk China harus mereka cerdaskan. Kalau sesekali visitor program ke sini dari dosen Peking bisa saja. Transfer knowledge tidak masalah.
Di sisi lainnya, secara politik, tentu sangat menjungkirbalikkan akal sehat jika para politisi di sana tidak ada yang mau berkompetisi di pilkada 2020. Jika Bintan sampai terjadi lawan boneka atau kotak kosong, tentu arah politik Bintan terpapar oligarki jauh dari semangat berdemokrasi normal: kompetisi sehat.
Tak ada alternatif pilihan bagi pemilih. Apakah salah, tentu tidak. Apakah sah, ya sah-sah saja. Andai terpilih menjadi kepala daerah maupun jadi anggota legislatif dengan membayar pemilih pun, selagi tidak ketahuan badan pengawas ya, dianggap normal saja.
Kalau tertangkap tangan bisa juga bebas dan bisa divonis bersalah. Kalau bebas di dunia, belum tentu bebas di mahkamah Tuhan. Mirip film Robin Hood. Mencuri untuk dibagikan kepada yang memerlukan. Yang parah, mencuri tapi tak dibagikan.
Masuk dengan cara yang salah, dapatpun tak dibagikan. Kalau dibagikan hasilnya, sedikit mungkin mengobati. Tapi secara substansial proses tetap salah. Bertentangan dengan hati nurani. Mengkhianati kedaulatan rakyat.
Kembali ke kasus pemilihan dengan kotak kosong atau calon boneka. Tentu menjadi demokrasi dipaksakan. Prematur. Pemilih tidak punya alternatif pilihan. Elit politik mengatur sedemikian rupa dengan kesepakatan tertentu. Berganti menjadi pemimpin hingga periode yang disepakati.
Provinsi Banten era Atut contoh nyata model dinasti keluarga. Sang pemegang kedaulatan hanya disuguhkan permainan politik tanpa starring (jagoan-red).
Harusnya seperti film Hollywood yang muncul sang jagoan hebat. Atau film super hero lainnya. Di kita macam film drama singkat di tivi. Reality show. Tapi ini bidang politik. Politik yang mudah ditebak. Tapi sulit dicegah.
Aroma politik Bintan sejak dulu sudah kental dengan politik dinasti. Apakah salah, secara kaderisasi salah. Secara politik bagi mereka yang haus kekuasaan tidak salah.
Kader yang selama ini bertungkus lumus membesarkan partai atau jadi pengurus partai akan berada titik stagnasi. Dengan model seperti ini, pastilah yang mencapai puncak kekuasaan politik daerah, mereka yang memiliki garis keturunan dengan penguasa.
Maka secara mudah, bagi kalangan penganut cinta kekuasaan, untuk tetap bertahan, maka semua keluarga harus ditempatkan di jabatan strategis partai. Dan pegang itu sekuat kuatnya. Kalau perlu digigit dengan geraham.
Andai pun nasib buruk, satu keluarga bisa ditangkap KPK. Kan sudah ada model seperti itu. Jika selamat, maka modal kekayaan cukup untuk hidup hingga cucu berikutnya.
Kan sudah ada contoh, anak politisi di DPR RI berumur 24 tahun punya harta nilainya puluhan miliar. Sementara petani, nelayan, dosen, guru yang usia 60 tahun pun belum tentu punya harta satu miliar. Bahkan sampai pensiun, masih punya pinjaman di bank.
Terkadang demokrasi juga menciptakan ketidakadilan. Wajar indeks gini ratio Indonesia cukup tinggi perbedaannya mencapai 38. Lebih rendah zaman Suharto di angka 24 gini rationya. Artinya sedikit lebih merata kesejahteraan. Tapi bidang politik tentu lebih baik era reformasi dibandingkan Orde Baru.
Jangan heran di DPR RI banyak anak anak mantan petinggi partai, menjadi anggota DPR. Juga anak bupati, anak gubernur, anak menteri anak presiden. Dengan model sistem proporsional terbuka, asal banyak duit maka anda bisa menjadi anggota DPR hingga DPRD. Termasuk jadi kepala daerah.
Lalu di mana aktivis yang mewakafkan dirinya dan berteriak di jalan saat jadi mahasiswa membela kepentingan publik? Atau dosen, tokoh buruh, aktivis LSM, jika beruntung atau disertai peluru yang kuat baru bisa terpilih saat pemilu. Tapi banyak gagal.
Buku yang mereka baca, mereka diskusikan jauh dari realitas. Bagaimana ibu rumah tangga suruh cerita Sukarno, Hatta, atau Syahrir hingga Tan Malaka, saja bisa jadi tak paham. Apalagi soal cerita ideologi. Dan mereka ini terpilih jadi DPRD.
Toh menjadi anggota DPRD keputusan diambil bersama. Misalnya dari 30 anggota DPRD, cukup yang tahu dan paham politik 10 orang, itu sudah mewakili 20 orang. Lihat saja perwakilan kita di parlemen yang berani berkomentar di media massa, hanya segelintir. Dan orang-orangnya itu-itu saja.
Berbeda jika mereka itu dikader sejak kecil. Dipersiapkan untuk mengganti sang ayahnya. Ya, kembali ke model kerajaan Majapahit hingga Ottoman. Penyebab salah satu hancurnya Ottoman banyak kalangan menyebutkan karena ketertinggalan kemampuan intelektual pewaris tahta kerajaan.
Di Barat, ketika ketika itu sudah menguasai teknologi dan pengetahuan seperti tulis Eugenne Roggan dalam buku The Fall of the Khalifah. Di Makassar pada Pilkada sebelumnya terjadi calon walikota melawan kotak kosong.
Dan ternyata yang menang kotak kosong. Ini salah satu kemarahan warga akibat blocking partai untuk menjegal calon yang dianggap kurang bersahabat dengan parpol.
Pilkada Makassar akhirnya dilanjutkan di pemilu 2020. Setelah sekian lama harus dipimpin oleh pejabat walikota. Lagi-lagi rakyat rugi. Karena kebijakan strategis untuk daerah agak terhambat dalam melaksanakan pembangunan daerah.
Di Kepri, rasa-rasanya bukan tidak mungkin, Kabupaten Bintan menuju kotak kosong atau calon boneka seperti era Ansar Ahmad melawan Syaiful. Saat itu Syaiful sebagai pejabat eselon II. Dan benar saja, tanpa berkeringat, Ansar dengan mudah melanjutkan ke periode keduanya.
Secara hitungan politik saat ini, Demokrat menguasai 8 kursi, Golkar 6 kursi, dan Nasdem 4 kursi. Jika ketiga partai ini berkoalisi membentuk calon mengusung calon tertentu, maka total kursi sudah 18. Tersisa hanya PKS 3 kursi, PAN 1 kursi, PDIP 2 kursi. Dan Hanura 1 kursi.
Andaikan PKS juga ikut merapat ke rencana yang disebut sebut warga membentuk koalisi besar tiga partai tadi, maka sudah cukup untuk melawan kotak kosong di pilkada Bintan 2020.
Hanura, PAN, dan PDIP, tak bisa mengusung calon karena baru memiliki empat kursi. Syarat minimal mengusung lima kursi di DPRD Bintan atau 20 persen.
Tapi jika ingin NasDem membentuk koalisi baru, maka tentu akan ada pertandingan yang serius. Karena Nasdem hanya memerlukan satu kursi guna mengantarkan calonnya ke KPU Bintan.
Jika NasDem tidak membentuk koalisi baru, maka harapan pada Golkar. Itupun jika calon yang dijagokan partai ini tidak mau diterima Demokrat. Tapi informasinya, kedua partai ini sudah mendekati kesepakatan untuk berkoalisi.
Ya, masih ada waktu dinamika politik di Bintan berkembang menjelang detik detik pendaftaran calon ke KPU. Tapi, harus disadari, beberapa politik dinasti di era demokrasi tidak melahirkan pemimpin yang cakap untuk mensejahterakan rakyatnya. Kebijakan politik hanya melanjutkan kepemimpinan sebelumnya.
Pemimpin transformatif semisal Banyuwangi bertransformasi dengan baik. Surabaya di tangan Risma menjelma jadi kota metropolitan yang jadi percontohan. Dua pemimpin daerah ini terpilih bukan dari proses dinasti politik.
Keduanya jadi pemimpin di era demokrasi dengan kompetisi yang ketat. Atas kepercayaan publik. Dan Kutai Kertanegara, Banten, dua daerah yang pemimpinnya berasal dari dinasti politik. Pemimpinnya pun berurusan dengan KPK. (*)
*) Mahasiswa PhD University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM)
DISCLAIMER: Setiap tulisan di rubrik kolom sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya masing-masing