angkaberita.id

Autisme Bukan Penyakit, Deteksi Cirinya di Balita Anda Dengan 7 Pertanyaan Kunci Ini

jika ada dua jawaban tidak dari tujuh pertanyaan kunci mendeteksi autisme, sebaiknya anda segera berkonsultasi dengan klinik tumbuh kembang anak/foto via merdeka.com

Autisme Bukan Penyakit, Deteksi Cirinya di Balita Anda Dengan 7 Pertanyaan Kunci Ini

angkaberita.id – Di sejumlah daerah, autisme masih diyakini akibat pengaruh ilmu hitam dan sejenisnya. Itu keliru besar! Selain akibat faktor genetik dan lingkungan, autisme juga bukan penyakit.

Sekali keliru mengenali gejala autisme, perlakuan terhadap anak dengan autisme juga menjadi tak tepat. “Autisme itu tidak menular, itu bukan penyakit,” tegas Gayatri Pamoedji, Ketua Masyarakat Peduli Autisme (MPATI).

Dia mengajak kalangan orangtua memahami soal autisme. Bahkan, menurutnya, ciri autisme dapat dideteksi sejak usia di bawah 12 bulan. Menurutnya, faktor genetik berandil terhadap autisme seperti adanya anggota keluarga dengan riwayat serupa.

Kalau faktor lingkungan, autisme terjadi akibat pengaruh makanan, polutan dan toksik alias racun masuk ke dalam tubuh. Meskipun faktor genetik berperan, tetapi orang tua bisa melakukan deteksi sederhana sejak dini.

Semakin dini terdeteksi, maka semakin dini pula intervensi dilakukan. “Lima tahun pertama kehidupan anak itu waktu terbaik untuk intervensi,” kata Gayatri seperti dilansir CNN Indonesia, Jumat (22/11/2019).

Gayatri lantas berbagi tip kepada para orang tua cara mendeteksi ada tidaknya ciri autisme pada sang buah hati, cukup dengan mengajukan 7 pertanyaan berikut ini:

1. Apakah anak Anda memiliki ketertarikan pada anak-anak lain?

2. Apakah anak Anda menunjuk pada hal yang disukai?

3. Apakah anak Anda mau menatap mata Anda selama lebih dari 1-2 detik?

4. Apakah anak Anda mau meniru ucapan, ekspresi wajah maupun gerak-gerik Anda?

5. Apakah anak Anda bereaksi ketika namanya dipanggil?

6. Apakah anak Anda mau melihat ke arah benda yang Anda tunjuk?

7. Apakah anak Anda pernah bermain pura-pura/role play?

Katanya, kalau minimal ada dua pertanyaan dengan jawaban ‘tidak’, segeralah orang tua bergegas ke klinik tumbuh kembang anak atau ke rumah sakit dengan fasilitas terapi anak autisme.

“Tanda-tanda bisa dideteksi secara insting ibu. Saya punya anak dengan autisme, di usia 9 bulan saya heran kenapa dia enggak ada kontak mata, dipanggil enggak dengar. Kalau punya bayi kan disusuin, pandangan mata ke arah ibu. Ini tidak,” tuturnya.

Setelah mengetahui adanya ciri autisme, menurutnya pengecekan selanjutanya serahkan ke ahlinya, sehingga diperoleh intervensi tepat sebagai terapi dan penanganan.

Umumnya terdapat tiga jenis terapi, yaknu terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi.

Terapi perilaku ditujukan agar anak bisa duduk tenang, fokus, ada kontak mata sehingga anak bisa bersekolah, belajar seperti anak lain saat dia sudah masuk usia sekolah.

Terapi wicara diperlukan agar anak bisa mengkomunikasikan apa yang diinginkannya. Biasanya terapi dilakukan dengan menyebutkan 10 benda yang sering ditemui atau ada di sekitarnya.

Sedangkan terapi okupasi lebih ke fisik atau olahraga agar ada koordinasi baik pada motorik halus maupun kasar.

Peran orang tua menurut Gayatri, besar terutama membantu terapi dengan memberikan stimulasi kepada buah hatinya. “Orang tua juga wajib terus belajar atau menstimulasi anak karena 80 persen anak autis bisa sukses karena orang tuanya, bukan karena ahli,” ujar Gayatri.

Sedangkan penanganan atau diagnosis terlambat katanya, berakibat anak kesulitan berkomunikasi, anak asyik dengan dunianya sendiri, dan berperilaku ganjil dengan mengulang terus menerus aktivitas sama berkali-kali dalam waktu lama. (*)

Bagikan
Exit mobile version