angkaberita.id

Revolusi 4.0, Siapkah Kita Dengan Masa Itu?

kecerdasan buatan bakal menandai dimulai revolusia 4.0 di dunia, seiring majunya perkembangan ilmu dan teknologi informasi/foto via luxtag.io

Robby Patria *)

TAHUN 2025 menurut survei World Economic Forum, dunia akan melahirkan titik kritis. Semisal bisa jadi mesin dengan kecerdasan buatan pertama menjabat direktur perusahaan, 10 persen pakaian manusia di dunia terkoneksi dengan internet, 10 persen mobil yang lalu lalang di Amerika Serikat tanpa sopir.

Kemudian 30 persen hasil audit perusahaan dengan menggunakan kecerdasan buatan. Apoteker robot pertama bakal mulai beroperasi di Amerika Serikat. Jika benar capaian di 2025, maka kuliah di akuntansi, kemudian di farmasi bakal bersaing dengan mesin buatan canggih sekaligus tak pandai merajuk.

Tak hanya itu, bagi pengguna kacamata, akan dicaiptakan kacamata yang terhubung dengan internet. Kalau beli itu, maka tak perlu pakai ponsel untuk terhubung ke dunia maya. Cukup melalui kacamata. Dan yang sangat mengerikan, adalah sistem rekayasa biologis.

Hanya etika moral yang diperlukan untuk menjaga agar manusia tetap ingat bahwa memang memiliki keterbatasan. Setelah Homo Sapiens yang terbatas, kini kata Yuval Noah Harari, sang penulis buku dengan judul sama, memprediski dunia bakal memasuki fase Homo Deus atau makhluk cerdas.

Dan, itu akan kita lihat sebentar lagi ketika Indonesia sedang ramainya membicarakan soal pemilu presiden dan legislatif di 2024. Sementara di belahan dunia sana, perubahan begitu cepat dan cepat. Hanya negara dengan SDM andal yang dapat mengikuti dan menjadi kreator atas perubahan itu.

Robby Patria

Amerika, China dan Rusia akan menjadi tiga negara kuat mencari siapa yang paling berkuasa atas teknologi sejagat. Siapa mengira China bisa menaklukkan Silicon Valley, kawasan teknologi informasi besar dunia?

Dan, kini China melalui SDM yang kuat
menaklukkan dengan mendapatkan miliaran dolar dari kerjasama dengan Apple dan Microsoft. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump pun tak berani melanjutkan embargo terhadap Huawei, perusahaan teknologi andalan China.

Dunia tengah memasuki revolusi 4.0, ditandai dengan otomatisisasi di sejumlah bidang pekerjaan. Sejumlah pekerjaan bakal dikerjakan mesin seperti kasir di supermarket, pusat perbelanjaan (mall) maupun restoran. Pramusaji, akuntan, wartawan, buruh pabrik bakal berkurang dan digantikan mesin.

Kantor berita Reuters semisal, sudah mulai menggunakan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dengan mesin algoritma menulis berita reportase di lapangan.

Kabar baiknya, sejumlah pekerjaan diperkirakan masih bertahan di era revolusi 4.0, di antaranya manajer guna menyelesaikan masalah sulit dan situasi krisis. Kemudian dokter, pilot dan sejumlah profesi lainnya.

Mereka yang sekolah tinggi dan mengandalkan pengetahuan masih diperlukan tenaganya untuk melayani 7 miliar lebih penduduk bumi. Yang diperlukan masa yang akan datang, menurut Yuval Noah Harari yang menulis buku Homo Deus yang terkenal itu, ialah kekayaan pengetahuan.

Gandum, emas, minyak yang dimiliki suatu negara tidak dapat diolah menjadi bermanfaat tanpa pengetahuan yang memadai. Hanya dengan  pengetahuan kekayaan alam dalam bentuk material itu bisa bernilai lebih.

Ke depan, persoalan perekonomian pengentasan kemiskinan suatu negara akan berjalan lambat atau cepat tergantung bagaimana kesiapan sumber daya manusia di negara itu. Singapura menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita lebih dari 56.000 dolar AS tidak memiliki sumber daya alam seperti Indonesia.

Negara kita sampai sejauh ini tembus 5.000 dolar AS per kapita, meskipun pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia termasuk ke 20 negara terkuat secara ekonomi di dunia saat itu.

Finlandia, negara penuh dengan bebatuan tandus namun memiliki pendapatan per kapita tinggi di dunia, bersama dengan negara Skandinavia lainnya.

Sehingga membuat negara ini memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, tingkat korupsi minim, dan kemakmuran tinggi warganya. Juga, kebahagiaan warga negaranya tertinggi dibandingkan 200 negara lainnya di dunia, begitu juga kenyamanan kehidupannya.

Yang membuat negara kecil seperti Finlandia bahagia dan makmur tentu bagusnya pendidikan di sana. Berkualitasnya  pendidikan melahirkan tenaga kerja terampil, infrastruktur publik yang baik, berkontribusi terhadap kemajuan dan kemakmuran, dan tentunya kebahagiaan rakyat  suatu negara.

Secara infrastruktur maupun SDM, negara ini siap menerima revolusi industri 4.0 yang dimulai di negara negara maju karena sudah siap secara infrastruktur. Namun, tidak untuk negara negara dunia ketiga seperti Indonesia yang masih berjuang meratakan kualitas pendidikan dan menyiapkan SDM.

Hanya sedikit dari jumlah penduduk Indonesia yang mampu bersaing di dunia kerja, yakni mereka yang memiliki keahlian dan pengetahuan tentunya. Dan jumlahnya tidak banyak.

Lihat saja dari kesiapan tenaga kerja Indonesia mayoritas lulusan SD ke bawah 41 persen, lulusan SMP 18  persen lulusan SMK 11 persen, D1-3 3 persen, lulusan S1 hanya 10 persen.  Itulah peta tenaga kerja aktif yang berjumlah 129 juta  seperti dilansir Katadata, situs berita berbasis data.

Untuk menyesuaikan revolusi industri 4.0, diperlukan tenaga kerja berpengetahuan tinggi minimal lulusan perguruan tinggi yang ahli di bidang teknologi. Jika lulusan SD dan SMP, bagaimana caranya bisa mengikuti pekerjaan yang memerlukan keahlian maha hebat itu. Dan kita akan menghadapi masa masa tersebut ke depannya.

Akhirnya, negara- negara yang tidak siap dengan revolusi industri 4.0, akan tersisihkan dari permainan dan mereka yang tersisih menjadi gejolak sosial yang berbahaya bagi kedamaian negara dan dunia.

Pemerataan pembangunan dan kekayaan hanya akan dinikmati mereka yang sudah siap secara infrastruktur fisik maupun sumber daya manusia. Dan mereka yang tidak siap akan menjadi penonton setiap tanpa terlibat dalam permainan era super robot itu nantinya. (*)

*) Mahasiswa PhD University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM)

DISCLAIMER: Setiap tulisan di rubrik kolom sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya masing-masing,

Bagikan
Exit mobile version