angkaberita.id

Inilah Fakta-fakta Kontroversial Film Korea Tidak Semua Orang Tahu

sang admiral, dengan judul asli The Admiral: Roaring Currents menjadi film terlaris sepanjang masa di Korea Selatan, bahkan mengalahkan film-film Hollywood. film mengisahkan aksi cemerlang laksamana Yi Sun-sin mengalahkan armada jepang saat pertempuran laut di abad ke-16/foto via microsoft.com

Inilah Fakta-fakta Kontroversial Film Korea Tidak Semua Orang Tahu

angkaberita.id – Selain ginseng, Korea Selatan juga dikenal di tanah air lewat produk elektronik rumahannya seperti televisi, pendingin ruangan, lemari es dan mesin cuci, begitu akrab dengan keseharian.

Bahkan, seiring waktu kawula muda juga menikmati dan mengikuti budaya pop di sana alias Korea Pop Culture disingkat K-Pop, mulai musik, film hingga drama serial televisi.

Nah, bagi Anda penggemar film buatan Korea kami sarikan fakta-fakta menarik dari laman Korea Herald, seputar film dan fakta tak terungkap perfilman Korea tidak semua orang tahu:

1. Heboh Adegan Ciuman Pertama di Perfilman Korea Selatan

Merujuk adegan ciuman pertama di film produksi barat lewat film The Kiss (1896), dunia film di Korea Selatan menunggu hampir enam dekade alias 60 tahun lamanya, adegan ciuman di film akhirnya muncul di film lokal.

Sontak adegan di film The Hand of Destiny (1954) ini memancing kegaduhan di Korea Selatan saat itu. Kendati hanya beberapa detik, adegan dua aktor utama dalam film itu, langsung menghebohkan Korea Selatan.

Apalagi saat itu, nilai-nilai konservatisme Konfusianisme masih melekat di masyarakat. Sebagian kalangan meyakini, kontroversi ini juga menjadi momen simbolis di dunia perfilman Korea Selatan sekaligus menandai ‘pertarungan’ pengaruh antara nilai barat dan adat lokal yang lekat dengan nilai-nilai Konfusionis.

Akibat kejadian itu, sang sutradara dan aktris dalam film itu menghadapi persoalan susulan, kendati adegan ciuman sang aktris sudah mendapat restu dari suaminya. Sang suami bahkan hadir saat adegan itu difilmkan.

Belakangan, sang suami menggugat sang sutradara film dan perlu dua tahun sebelum akhirnya kasus ini selesai. Film kontroversial ini terbilang sukses saat itu, dengan menarik jumlah penonton hingga 50.000 orang, sebagian disebut akibat mencuatnya kontroversi adegan ciuman itu.

2. Korea Utara Menculik Aktris dan Sutradara Korea Selatan

Kontroversi lainnya ialah kabar aksi penculikan rezim Korea Utara terhadap aktris kenamaan Korea Selatan zaman itu. Sudah menjadi rahasia umum, Kim Jong-il, ayah pemimpin Korea Utara sekarang, Kim Jong-un menyukai film.

Sosok yang menakhodai Korea Utara hingga kematiannya pada 2011, begitu mencintai akting aktris Korea Selatan ini. Bahkan, saking kesengsemnya, dia dikabarkan memerintahkan menculik sang aktris sekaligus sutradara filmnya.

Nama aktris itu, Choi Eun-hee dan sang sutradara ialah, Shin Sang-ok belakangan menjadi suaminya meskipun akhirnya bercerai. Keduanya ‘diambil’ secara terpisah di akhir 1970-an, dan dipaksa membuat film di Korea Utara hingga akhirnya berhasil melarikan diri pada 1986 lewat Kedubes Amerika Serikat di Vienna, Austria.

Selama dalam penguasaan rezim Korea Utara, mereka disebut telah menghasilkan tujuh film. Di antaranya film Pulgasari, versi Korea Utara untuk film Godzilla.

Selain film, keduanya juga melagirkan sebuah drama televisi dengan adegan ciuman di dalamnya menjadi adegan pertama di pertelevisian Korea Utara.

Keduanya kembali ke Korea Selatan pada 1999 setelah tinggal di Amerika Serikat di bawah perlindungan Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat, CIA selama bertahun-tahun.

Kisah keduanya akhirnya dibuatkan film dokumenternya dengan judul The Lovers and the Despot dan dirilis di Korea Selatan setelah kematian Shin. Korea Utara tak pernah mengakui tudingan itu. Choi meninggal tahun lalu.

3. Film Jembatani Dialog Perdamaian Antar Korea

Fungsi film diyakini tak hanya menyuguhkan hiburan semata. Sebaliknya, film dalam skala luas merupakan, media mengetahui dan mengukur respon publik terhadap isu kontroversial atau pemikiran tertentu.

Bahkan, dalam konteks relasi dua negara di Semenanjung Korea, merupakan media pembuka pintu dialog sekaligus peretas jalan perundingan perdamaian dua negara, yang secara de jure, masih berperang.

Banyak kalangan film di Korea Selatan, andil film dialog perdamaian dua Korea bukannya omong kosong. Untuk sebagian, terwujudnya kesediaan Korea Utara membuka pintu dialog di masa kepemimpinan Kim Jong Il, ditandai pertemuannya dengan Presiden Korea Selatan saat itu, Kim Dae Jung, berkat kegemaran Kim Jong Il menonton film.

Ayah Kim Jong Un ini, belakangan diketahui, menyimpan banyak karya-karya utama perfilman Korea Selatan di kediaman pribadinya. Keterangan Shin, sang sutradara yang sempat ‘diambil’ rezim Korea Utara, mengonfirmasi spekulasi itu.

Dalam satu testimoninya, dia mengatakan sang penguasa Korea Utara itu menyimpan banyak koleksi film-film Korea Selatan produksi sebelun tahun 1970-an. Katanya, di antaranya hampir 200 keping koleksi filmnya termasuk film The Late Autumn, produksi tahun 1966 besutan sutradara Lee Man-hee.

Film ini termasuk karya klasik di masanya, dan bahkan di Korea Selatan termasuk satu dari seratusan film karya klasik yang hilang dari koleksi. Kenyataan ini mengungkapkan betapa buruknya pemeliharaan warisan sinema di Korea Selatan.

Hanya 22 persen dari karya film produksi tahun 1950-an dan 44 persen film buatan tahun 1960-an masih tersisa dan tersimpan. Film klasik Korea Selatan pertama, Arirang (1926) sekaligus film terlaris pertama di Korea Selatan di masa pendudukan Jepang di Semenanjung Korea juga hilang, bersama dengan sejumlah film produksi ulang setelahnya.

Kalangan perfilman di Korea Selatan tahun lalu menggelar pertemuan khusus pertukaran antar Korea soal perfilman ini. Sebagai pembicaraan awal, kedua belah pihak bertukar data dan daftar film klasik yang masih tersimpan di kedua negara.

4. Sang Laksamana Pecahkan Rekor Film Terlaris Sepanjang Masa

Film “The Admiral: Roaring Currents” (2014) menyapu bersih penonton dan pendapatan saat diputar di sekujur negeri, saat itu. Selain dibanjiri lebih dari 17,6 juta penonton, film ini juga membukukan pendapatan secara global hampir 140 juta dolar.

Film ini berkisah komandan angkatan laut paling terkenal di Korea Selatan, Yi Sun-sin (1545-98), dengan aktor pemerannya, Choi Min-shik ‘Si Bocah Tua’. Film menceritakan perjuangannya melawan invasi Jepang dalam pertempuran laut terkenal “Myeongnyang”di tahun 1597.

Sukses film bertema patriotik ini sekaligus mengkerdilkan pendapatan sejumlah film Hollywood sebelumnya merajai box office di Korea Selatan. Seperti Avatar besutan sutradara James Cameron (2009), rekornya bertahan hingga 10 tahun sebelum akhirnya dilewati film produksi Marvel Studio “The Avengers: Endgame,” dengan pendapatan 13,8 juta dolar per tiket terjual hingga 30 Mei, dan masih bakal terus bertambah.

5. Teknologi Menjadi Masa Depan Perfilman Korea Selatan

Konglomerat Korea Selatan, CJ telah menginvestasikan besar-besaran dana segarnya ke industri perfilm. Tak hanya memiliki komplek studio film terbesar di Korea Selatan, yakni CJ CGV, namun juga lewat CJ E&M menjadi distributor film paling besar di sini.

Belum lagi, pengaruhnya dalam merintis film berteknologi 4DX dan ScreenX ke level dunia. 4DX sendiri dikembangkan oleh CJ 4Dplex, melahirkan sejumlah pengalaman menonton sangat spesial dan istimewa. Tak hanya kursi bergerak, namun juga impresi sepertu angin, hujan, cahaya hingga aroma sesuai dengan standar video dan audionya.

Berpadu dengan ScreenX, layar lebar versi 240 derajat, teknologi ini disebut kalangan pakar perfilman bakal menjadi masa depan perfilman Korea Selatan. 4DX telah digunakan di studio film di lebih 60 negara, sedangkan ScreenX bisa dinikmati kedahsyatannya di 17 negara di dunia. (*)

Bagikan
Exit mobile version