angkaberita.id

Stunting Hantui Asia Tenggara, Kenapa Ibu Hamil Wajib Tahu?

angkaberita.id – Kalau Jepang dihantui rendahnya angka kelahiran, sejumlah negara lainnya termasuk di tanah air rentan kasus anak stunting alias kerdil. Belum lagi kasus bayi lahir prematur atau terlahir dengan bobot di bawah standar.

Khusus fenomena terakhir, seperti dilansir laman situs bangkokpost.com, Kamis (16/5/2019) setidaknya satu dari tujuh bayi di dunia kelahiran tahun 2015 bobot tubuhnya saat lahir di bawah normal.

Angka ini setara lebih dari 20 juta bayi lahir pada tahun itu merujuk hasil riset yang diterbitkan di The Lancet Global Health, Kamis.

Dalam artikel itu juga terungkap, lebih 90 persen bayi lahir dengan bobot kurang dari 2,5 kilogram berasal dari keluarga masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.

Dari 148 negara disurvei, kurang dari 15 persen bayi lahir memiliki bobot rendah. Di Swedia angkanya setara 2,4 persen dan di Bangladesh hampir 28 persen.

Kendati turun dibanding angka rata-rata tahun 2000, yakni 17,5 persen. Namun merujuk hasil pertemuan WHO alias Organisasi Kesehatan Dunia, dengan target terbaru 20 persen antara 2012 hingga tahun 2015,

“Perlu upaya lebih keras mencapainya,” tulis Hannah Blencowe, Guru Besar London School of Hygiene & Tropical Medicine sekaligus penulis laporan dalam jurnal itu.

Dalam paparannya, Hannah mengungkapkan negara di kawasan Afrika Sub Sahara jumlah bayi lahir dengan bobor rendah justru meningkat. Angkanya, dari tahun 2000 ke 2015 dari 4,4 juta bayi lahir menjadi 5 juta bayi lahir.

Pun, Asia Tenggara diperkirakan angkanya tembus 9,8 juta pada 2015, atau hampir separo angka bayi lahir secara global. Bayi lahir kurang dari 2,5 kilogram kondisinya rentan, termasuk kondisi kesehatannya kelak.

Lebih dari 80 persen dari 2,5 juta bayi baru lahir setiap tahunnya meninggal akibat bobot prematur. Kondisi ini membuat ibu hamil wajib mengetahui dan mempersiapkan diri.

Kasus stunting merupakan ancaman kesehatan terdekat, selain diabetes dan jantung. “Pemerintah hampir tidak melakukan upaya menguranginya,” tulis Hannah dalam laporan di jurnal itu. (*)

Bagikan
Exit mobile version